(1) sang istri sudah habis masa iddahnya darinya,
(2) sang istri harus dinikah lebih dulu oleh laki-laki lain (muhallil),
(3) si istri pernah bersenggama dan muhallil benar-benar penetrasi kepadanya,
(4) si istri sudah berstatus talak ba’in dari muhallil,
(5) masa iddah si istri dari muhallil telah habis,”
(Lihat: Abu Syuja, al-Ghayah wa al-Taqrib, Alamul-Kutub, tanpa tahun, hal. 33).
Seperti halnya istri yang ditalak ba’in, istri yang ditalak dengan talak fasakh dan istri yang ditalak khulu‘ pun tidak bisa dirujuk.
Sehingga sang suami yang ingin kembali kepadanya harus melakukan akad baru.
Begitu pula yang ditalak tetapi belum pernah dicampuri, juga tidak bisa rujuk sebab ia tidak memiliki masa iddah.
Baca juga: Anggi Kini Jadi Janda Kesepian, Adriaman Lase Ogah Nikahi Anggi: Malu usai Kabur dengan Istri Orang
Ketentuan lainnya, ungkapan yang dipergunakan untuk rujuk bisa ungkapan sharih (jelas dan tegas) atau ungkapan kinayah (sindiran) disertai dengan niat.
Contoh ungkapan sharih, “Aku rujuk kepadamu,” atau “Engkau sudah dirujuk,” atau “Aku mengembalikanmu kepada pernikahanku.”
Sedangkan ungkapan kinayah contohnya “Aku kawin lagi denganmu,” atau “Aku menikahimu lagi.”
Lebih lanjut, Syekh Ibrahim mempersyaratkan agar ungkapan rujuk di atas tidak diikuti dengan ta’liq atau batas waktu tertentu.
Seperti ungkapan, “Aku rujuk kepadamu jika engkau mau,” meskipun istrinya menjawab, “Aku mau.” Atau ungkapan, “Aku rujuk kepadamu selama satu bulan.”
Kemudian, rujuk tidak cukup dilakukan dengan niat saja tanpa diucapkan.
Pun tidak cukup hanya dilakukan dengan tindakan semata, seperti dengan hubungan badan suami-istri.
Tetaplah harus diucapkan, bahkan sunnahnya, di hadapan dua saksi.
Tujuannya agar terhindar dari fitnah dan keluar dari wilayah perdebatan orang yang mewajibkannya.
Kemudian, rujuk juga boleh dilakukan tanpa kerelaan istri.