Opini

Memahami Aceh Antara Sentimen dan Argumen

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr H Munawar A Djalil MA

Dr Phil Munawar A Djalil MA, Pegiat dakwah dan penulis buku Hasan Tiro Berontak, tinggal di Cot Masjid Banda Aceh

MENURUT Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Sentimen diartikan pendapat atau pandangan yang didasarkan pada perasaan yang berlebih-lebihan, bertentangan dengan pertimbangan pikiran, emosi yang berlebihan, tidak senang, dendam dll. Sementara Argumen adalah alasan yang dipakai untuk memperkuat atau menolak sebuah pendapat atau gagasan.

Penulis hanya meng-highlight saja “term” sentimen bahwa sentimen yang meliputi perasaan tidak senang, emosi berlebihan, kebencian itu muncul karena kita belum mengenal dan memahaminya sehingga kita kerap salah memberikan penilaian kepada orang lain.

Pada dataran ini ketika berbicara Aceh maka yang dituntut adalah agar kita tidak hanya sekadar tahu saja namun harus paham benar tentang Aceh. Kenapa tidak, karena literasi tentang Aceh yang tersebar di dunia boleh dibilang paling tua di Nusantara sehingga membuat sedari dulu banyak orang sudah mengetahui tentang Aceh lewat buku-buku bacaan yang ditulis pakar sejarah dunia maupun manuskrip peninggalan ulama-ulama Aceh tempo dulu.

Maka sangat patut banyak orang telah mengenal Aceh tentu dalam beragam perspektif dan berbagai sudut pandang. Namun  ironi di antara mereka  tak banyak memahami lebih-lebih menyangkut psikologi orang Aceh, akibatnya mereka sering salah menilai Aceh. Yang perlu diingat bahwa memahami itu berbeda jauh dengan mengetahui.

Tulisan ini tidak bermaksud membangun sentimen melainkan menyuguhkan sedikit argumen agar semua orang paham tentang Aceh baik orang Aceh sendiri yang mulai lupa akan jati dirinya maupun orang non Aceh terutama yang sedang tinggal atau bertugas di negeri ini.

Memahami Aceh

Syahdan, ketika perang Aceh sedang berkecamuk, pernah pada 1904 seorang Antropolog Belanda Dr. C. Snouck Hurgronje memberikan nasehat kepada Pemerintah Hindia Belanda antaranya berbunyi: ”Mereka sama sekali lupa bahwa disiplin yang diciptakan oleh orang seperti Letkol. Van Daalen yang menerapkan tindakan kasar dan tidak manusiawi akan menuntut kehadiran pendudukan militer secara abadi, sedangkan kehadiran itu akan menutup kemungkinan segala macam kerukunan orang Aceh dengan pihak Belanda…”

Ketika nasehat ini disampaikan Snouck,  perang Aceh telah berjalan lebih 30 tahun (1873-1904). Sayangnya Belanda telah menghabiskan dana yang sangat banyak, juga telah mengorbankan jiwa tentara yang terbesar sepanjang sejarah penaklukan kerajaan pribumi. Walaupun secara de jure Kerajaan Aceh telah ditaklukkan, namun secara de facto di beberapa tempat seperti Gayo Alas, Pidie, kubu-kubu Aceh masih terus bertahan dan belum dapat ditaklukkan.

Pada tahun 1906 Aceh secara keseluruhan  telah dapat memasuki era baru yaitu era Pemerintah Sipil yang lebih stabil. Oleh karena itu pada saat itu Gubernur Jenderal Belanda merasa perlu mengganti Gubernur Militer Aceh yaitu Jenderal Van Heutz, untuk mengakhiri militerisasi ke Pemerintahan Sipil.
Menurut Dr. C. Snaouck Hurgronje seorang Gubernur Belanda di Aceh tidak sekadar memiliki pengalaman lapangan, tetapi juga memiliki tingkat kecerdasan dan intelektual yang tinggi, sehingga dengan cepat melahirkan pikiran-pikiran dan konsep baru untuk mengembangkan “Civilian Society” di daerah Aceh.

Pemerintah Hindia Belanda pada masa itu sangat berhati-hati untuk memilih seseorang tokoh yang akan menggantikan Jenderal Van Heutsz, karena saat itu Aceh sedang menghadapi masa transisi dari era Militerisasi ke era Sipilisasi. Demikianlah Aceh waktu itu berada di persimpangan jalan, kalau salah memilih situasi di Aceh akan mengalami set-back.

Apabila demikian, maka Aceh seperti dikhawatirkan Dr. C. Snouck Hurgronje akan menuntut kehadiran pendudukan militer secara abadi, dan perdamaian dengan rakyat Aceh tidak akan pernah terjadi. Nah, secara teoritis, reformasi di bidang politik tidak seperti reformasi di bidang ekonomi dan bidang lainnya yang sifatnya “non personal”, reformasi bidang politik sifatnya sangat personal, artinya tidak mungkin orang yang sama menangani politik yang berbeda.

Maka, dalam konteks saat ini Pemerintah harus peka terhadap persoalan-persoalan yang berkembang seperti sosial, keagamaan di Aceh sehingga kemudian Pemerintah harus sanggup melakukan pendekatan budaya dan agama (cultural religius) untuk memartabatkan Aceh.

Pendekatan ini memastikan bahwa Pemerintah tidak hanya peka terhadap pokok permasalahan yang sedang berkembang (the real problem) tetapi Pemerintah harus memiliki kepekaan terhadap akar permasalahan (the natural of the problem) yang sebenarnya.

Mungkin anolog Dr. C. Snaouck Hurgronje dengan kaitan yang terakhir mengisyaratkan bahwa pemimpin Aceh baik level provinsi maupun  kabupaten/kota harus tampil dengan watak dan kecerdasan yang tinggi, agar mampu melahirkan kebijakan yang strategis. Sebab itu diperlukan Pemimpin yang memiliki daya intelektual yang tinggi dan pengalaman agama yang mantap. Karena agama bagi orang Aceh merupakan landasan ideologi.

Berangkat dari itu maka yang sering menggerakkan orang untuk berbuat sesuatu bukanlah dari doktrin agama melainkan dari apa yang dipahami mereka tentang doktrin agama dan dari sini muncul mitos, simbol, adagium yang kemudian hari diturunkan dari generasi ke generasi di Aceh.

Bagi masyarakat Aceh, simbol, mitos, adagium atau apapun namanya, sangat besar maknanya dalam kehidupan mereka. Lebih-lebih dalam mempertahankan martabat dan melawan ketidakadilan. Kita melihat perkembangan politik dalam negeri pasca kemerdekaan, telah mengalami pasang surut (fluktuasi) yang panjang ditandai bergolaknya Aceh sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap kebijakan Pemerintah Pusat. Menurut sebagian orang bahwa pergolakan yang terjadi adalah lanjutan perlawanan rakyat masa silam dengan maksud untuk mendapatkan secercah keadilan dan sebongkah harga diri.

Dalam hubungan ini muncul sebuah pertanyaan, bagaimana kemudian orang memahami Aceh dari perspektif kehidupan politik Indonesia? Acap kali, dalam menilai masalah ini, publik berbeda pendapat, masing-masing mereka mempunyai argumen tersendiri. Kasus Aceh yang menonjol diperbincangkan adalah perkembangan politik di Aceh mengalami arah bolak balik sangat tajam sehingga sentimen yang muncul kemudian dibangun berdasarkan argumen  baik berdasarkan sejarah maupun berbasis realitas sosial.

Antara sentimen dan argumen

Bagi masyarakat Aceh semangat militansi untuk mewujudkan Aceh yang “Merdeka” berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) sangat argumentatif. Hanya saja semangat itu semestinya harus mendapat dukungan politik secara penuh dari Pemerintah Pusat. Karena sikap Pemerintah Pusat yang seolah masih setengah hati mengurus Aceh berdasarkan UUPA telah memunculkan sentimen rakyat dan asumsi liar  bahwa Pemerintah Pusat telah mengebiri keistimewaan dan kekhususan Aceh.

Selanjutnya yang perlu dipahami pula bahwa orang Aceh tidak akan pernah marah bila tidak dikecewakan. Manakala ia masih mau membuka suara dan berbicara, maka saat itu semua akan diberikan orang Aceh--berbeda saat orang Aceh telah diam, enggan bersuara, tak mau berbicara dan matanya telah memerah (mata hu) maka saat itu pula marahnya telah sampai puncak, sehingga ada satu pameo yang rada sentimental dalam masyarakat Aceh. “Meunyoe hana teupeh pade bijeh dipeugala, meunyoe ka teupeh bu leubeh han ipeutaba”.

Ingat, apa saja telah dan akan dilakukan orang Aceh untuk sebuah dignity dan kehormatan, demikian pula apa saja akan dilakukan kadang-kadang tanpa menggunakan perhitungan logika dan untung rugi, apabila harga diri dan martabat terusik. Kalaupun hari ini Pemerintah telah memberikan otoritas penuh lewat UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun masyarakat Aceh lagi-lagi meminta supaya seluruh turunan dari UUPA ini bisa segera di realisasikan. Salah satu misalnya Bendera Aceh, meski ada sindiran bahwa bendera itu tak “mengenyangkan” namun yang mesti dipahami bahwa spirit bendera itu dapat “membahagiakan”. Nah.

Karenanya para Nasionalis yang berada di Aceh, agar tidak memosisikan diri pada kedudukan yang terlalu sulit untuk sebuah usaha menyelamatkan negeri ini dari benih kehancuran. Bagi Penulis, cara menyikapi pergolakan aspirasi rakyat haruslah dilihat dari perspektif psikologis politik yang melekat pada masyarakat Aceh. Faktor tingginya penghormatan pada martabat dan harga diri merupakan karakteristik yang terbina oleh perjalanan sejarah masa lalu. Alangkah naifnya apabila banyak orang kerap pada kesimpulan bahwa sikap dan sifat sentimen orang Aceh memang telah lama timbul. Hemat penulis, justru banyak di antara kita telah ikut memberi andil akan hal itu. Kenapa, karena kegagalan memahami Aceh. Nyan ban.. Allahu ‘alam.

Berita Terkini