Agung menyebutkan bahwa KPK telah menyalahi aturan.
“Penyidik itu kalau polisi, enggak semua polisi bisa, hanya penyidik polisi (yang bisa menetapkan tersangka). KPK juga begitu, enggak semua pegawai KPK bisa, hanya penyidik, di militer juga begitu, sama. Nah untuk militer, yang bisa menetapkan tersangka itu ya penyidiknya militer, dalam hal ini polisi militer,” tutur Agung.
“Prosedurnya untuk menetapkan tersangka ini ya kurang tepat secara aturan sebetulnya,” kata Agung.
Saat ini, Puspom TNI masih menunggu laporan resmi dari KPK yang menyatakan bahwa Henri dan Afri tersangkut kasus hukum.
“Kami belum menerima laporan polisi dari KPK. Secara resmi KPK belum melapor ke TNI ada personel yang terlibat kasus,” ujar Agung.
Baca juga: Harta Kekayaan Kepala Basarnas Henri Alfiandi Capai Rp 10,9 Miliar, Punya Pesawat Zenith
Sebelumnya, KPK menetapkan Kabasarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan orang kepercayaannya, Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka.
Afri merupakan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas. Ia juga merupakan prajurit TNI Angkatan Udara (AU) berpangkat Letkol Adm.
Mereka diduga menerima suap hingga Rp 88,3 miliar sejak 2021-2023 dari berbagai pihak. KPK juga menetapkan tiga pihak swasta sebagai tersangka
Sebagian dari terduga penyuap itu adalah Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan, Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil.
Mereka memberikan uang sekitar Rp 5 miliar kepada Henri melalui Afri karena ditetapkan sebagai pemenang lelang pengadaan peralatan di Basarnas.
Pengusutan dugaan korupsi di Basarnas diungkap ke publik setelah KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa (25/7/2023).
Sementara itu, Henri menyatakan siap bertanggung jawab atas kebijakannya sebagai Kepala Basarnas.
Ia mengaku uang yang diterima melalui Afri bukan untuk kebutuhan pribadi melainkan kantor.
“Tujuannya memang untuk itu,” ujarnya saat dikonfirmasi Kompas.com.