A Wahab Abdi, Dosen FKIP USK Darussalam
SELAMA 62 tahun perjalanannya, Universitas Syiah Kuala (USK) telah meraih banyak kemajuan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas USK telah memiliki 77 Prodi Sarjana, 33 Prodi Magister, dan 9 Prodi Program Doktor. Jumlah mahasiswa jenjang sarjana mencapai 30.000-an plus ribuan mahasiswa pascasarjana yang jumlahnya juga mencapai puluhan ribu.
Jumlah dosen USK saat ini mencapai 2.034 orang. Dari jumlah itu, sekitar 130-an orang bergelar guru besar (GB) atau profesor. Berdasarkan data tersebut, rasio dosen mahasiswa jenjang sarjana USK adalah 1 : 15. Angka ini tergolong sangat ideal jika mengacu kepada standar nasional yang menetapkan rasio maksimum dosen mahasiswa adalah 1: 20.
Secara kualitas, capaian USK yang menakjubkan dalam satu dekade terakhir adalah peringkat akreditasi dari C menjadi A. Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh kenaikan peringkat akreditasi sejumlah program studi. Bahkan beberapa di antaranya sudah berstandar internasional.
Atas dasar capaian itu mungkin, akhirnya USK disahkan menjadi PTN-BH melalui PP RI No. 38/2022. Di dalam PP itu disebutkan bahwa USK ditetapkan sebagai perguruan tinggi berbadan hukum yang mengelola bidang akademik dan non akademik secara otonom, walaupun sumber pembiayaan masih mengandalkan dari uang kuliah tunggal berkeadilan (UKTB).
Pada satu sisi keberhasilan USK selama satu dekade terakhir meraih prestasi gemilang patut diapresiasi dan disyukuri. Prestasi tersebut telah mendongkrak rangking USK masuk ke kelompok jajaran perguruan tinggi elite, bereputasi dan terkemuka di tanah air. Hasil publikasi sejumlah lembaga survei dan pusat data nasional dan internasional menempatkan USK berada dalam kelompok 10 atau 20 besar PTN bergengsi.
Sementara itu, pada sisi lain keberhasilan ini juga telah menempatkan USK di arena tarung dengan tantangan baru yang lebih berat, serta berbagai persoalan dengan kompleksitas yang cukup menantang. Di antara sekian banyak tantangan, terdapat dua tantangan yang dihadapi USK dengan status baru ini. Kedua tantangan tersebut adalah program hilirisasi hasil penelitian, dan intensitas keterlibatan USK dalam menyuarakan beragam persoalan masyarakat pada tataran nasional dan internasional.
Batu uji hilirisasi
Tantangan pertama USK yang akan dihadapi adalah hilirisasi. Hilirisasi PTN-BH adalah suatu upaya membangun sinergisitas antara pemerintah, perguruan tinggi dan pelaku usaha atau dunia industri. Dewasa ini sinergisitas sudah dimulai dengan mengembangkan Science Techno Park (STP) di perguruan tinggi oleh Kemdikbud. STP merupakan suatu unit usaha untuk hilirisasi hasil riset dan produk akademik lainnya sehingga bernilai guna dalam jangka pendek.
Tantangan ini sekaligus batu lompatan dalam rangka beradaptasi dengan era disrupsi. Tridarma perguruan tinggi tak hanya berkutat pada kegiatan riset, pengajaran, dan pengabdian. Sudah seharusnya doktrin Tridarma perguruan tinggi diperluas sehingga menyentuh entrepreneurial university (EU).
Sejumlah PTN-BH telah memperoleh kepercayaan pendanaan guna mewujudkan gagasan strategis nasional ini. Program Promoting Research and Innovation through Modern and Efficient Science and Technology Parks Project (PRIME STeP) 2023-2027 adalah salah satu di antaranya. Program ini merupakan langkah strategis pemerintah untuk mendorong hilirisasi hasil riset ke dalam proses industrialisasi.
Riset para akademisi USK senantiasa harus menukik ke topik terapan (aplied research) sehingga output-nya dapat dikembangkan oleh pelaku industri. Penelitian senantiasa harus diorientasikan ke kompetensi menghasilkan patent, bukan hanya untuk memenuhi kewajiban dan pembinaan karier saja. Artinya bahwa hasil penelitian para dosen harus berdaya guna jangka pendek, dan salah satu buktinya adalah bersifat aplikatif. Selain itu, hasil penelitian juga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.
Penekanan pada penelitian terapan bukan berarti mengabaikan penelitian murni (pure sience). Riset dasar dan murni tetap dibutuhkan untuk mendukung program pengembangan ilmu. Selain itu riset murni juga akan mendukung perkembangan riset terapan, dan sebaliknya riset terapan akan mendukung perkembangan riset murni. Kedua riset ini membentuk hubungan mutualisme. Karena itu kedua-keduanya harus berjalan seiring dan serempak.
Dalam konteks inilah USK ditantang untuk mampu meraih hilirisasi sebagai salah satu batu uji. Keberadaan pusat penelitian di USK perlu direformasi dan diarahkan untuk melakukan penelitian yang masuk ke dalam kategori hilirisasi. Mindset dosen tentang riset perlu direformasi dan transformasi sehingga memiliki ruh kewirausahaan.
Selain para dosen, manajemen juga harus agilitas sehingga akan lebih responsif terhadap program hilirisasi. Perombakan dan penyesuaian manajemen mutlak diperlukan sehingga memiliki kultur humanis, kolaboratif, dinamis, fleksibel, dan berwawasan global. Termasuk juga bagaimana membangun sistem renumerasi berwajah akomodatif terhadap kreativitas dan inovasi, sehingga setiap produk kreatif dan inovatif bernilai tinggi.
Langkah ini adalah pilihan mutlak untuk menjawab tantangan hilirisasi. Sejauh mana mampu menjawab tantangan ini akan menjadi kunci kesuksesan USK ke depan. Sehingga universitas Jantong Hate Rakyat Aceh ini layak disebut sebagai pengemban pusat peradaban di wilayah Indonesia bagian barat.
Kumandang cinta
Selain menjawab tantangan hilirisasi, USK juga perlu mengasah kepekaan atau sensitivitas terhadap berbagai dinamika lingkungannya. Sensitivitas ini akan mampu mendorong USK menjadi salah satu lembaga pendidikan yang peduli akan jeritan masyarakat. Hal ini seirama dengan bunyi salah satu lirik Himne USK, yakni “Dari tanah Aceh berkumandang cinta kami untuk Indonesia dan umat manusia”. Lirik ini menunjukkan bahwa USK harus berfungsi sebagai mercusuar yang memancarkan gelora ilmu dan peradaban ke seluruh nusantara.
Melihat realitas kontekstual kekinian, suara akademisi USK untuk menyikapi beragam persoalan kemasyarakatan relatif masih senyap. Ini kontradiktif dengan kualifikasi sumber daya manusia (SDM) USK saat ini. Sebagian besar dosen USK sudah berkualifikasi doktor, dan sebagian dari mereka adalah profesor, yang secara akademik punya kemampuan mengkritisi aneka peristiwa lingkungannya.
Seharusnya guru besar tak hanya disibuki oleh publikasi jurnal bereputasi internasional dan terindek Scopus, doi, atau wos saja, tapi juga harus peka dan peduli terhadap dinamika lingkungannya. Pada diri guru besar melekat multifungsi. Para guru besar harus berfungsi lebih dari sekadar pembawa bendera keilmuan, melainkan juga harus menjadi panutan masyarakat akademik, pembawa perubahan, pencerahan bagi masyarakat, dan pemberdayaan nilai-nilai dan etika akademik.
Disfungsi para akademisi USK dalam menyikapi aneka peristiwa lingkungan, merupakan perkara yang belum sejalan dengan kultur akademik PTN-BH dan spirit kelahiran USK 62 tahun silam, khususnya harapan para pendirinya. Persoalan ini juga butuh pemikiran cerdas akademisi USK perlu mereformasi dan transformasi diri sehingga pola pandang terhadap dinamika lingkungannya berubah.
Meraih hilirisasi sebagai program strategis nasional PTN-BH adalah arena tarung yang harus dimenangkan akademisi USK. Jika arena tarung hilirisasi mampu dikuasai, maka kelak kumandang cinta pun akan terdengar ke seluruh pelosok negeri, sebagai wujud pemenuhan harapan dan cita-cita para pendiri USK 62 tahun lalu.