Opini

Pemilu 2024 Krisis Caleg?

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tgk Akmal Abzal, Komisioner KIP Aceh periode 2008-2013 dan 2018-2023

Tgk Akmal Abzal, Komisioner KIP Aceh periode 2008-2013 dan 2018-2023

SESUAI Keputusan KIP Aceh Nomor 65 Tahun 2023 Tentang Daftar Calon Sementara (DCS) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dalam Pemilihan Umum Tahun 2024 memuat sebanyak 1.385 orang bakal calon legislatif (bacaleg) yang tersebar di sepuluh Daerah Pemilihan (Dapil) se-Aceh. Bila dikaitkan dengan jumlah dapil yang ada tentu angka di atas bisa disebut lumayan besar dalam upaya merebut 81 kursi empuk di DPRA.

Namun kajian tidak selalu terfokus pada nominal suatu angka semata. Kondisi sesungguhnya yang perlu menjadi diskursus bagi masyarakat terutama para praktisi pemilu, pengamat politik dan pelaku demokrasi terkait minimnya jumlah bacaleg di tengah semaraknya kehadiran partai peserta pemilu setiap lima tahunan.

Merunut pada Keputusan KPU Nomor 551 Tahun 2022 tentang perubahan atas Keputusan KPU Nomor 518 tahun 2022 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Partai Politik Lokal Aceh peserta Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota Tahun 2024, jumlah peserta pemilu menjadi 24 partai pasca lolosnya Partai Umat sebagai peserta terakhir di Pemilu 2024 mendatang.

Sesuai ketentuan pasal 8 PKPU 10 Tahun 2023 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, regulasi memberi ruang seluas-luasnya kepada setiap peserta pemilu untuk memuat bacaleg masing-masing partai maksimal seratus persen dari jumlah kursi pada setiap Dapil bagi partai nasional dan maksimal memuat seratus dua puluh persen bagi partai lokal sebagaimana termaktub dalam pasal 17 Qanun 3 Tahun 2008 Tentang Partai Lokal peserta Pemilu Anggota DPRA dan DPRK.

Maka merujuk pada pasal 8 PKPU 10 tersebut sejatinya 18 partai nasional berhak mengisi bacalegnya di masing-masing Dapil seratus persen atau berjumlah 81 orang bacaleg yang tersebar di sepuluh dapil se-Aceh. Jika setiap partai mampu mengisi porsi per dapil seratus persen maka 18 Partai nasional dikali 81 kursi/ bacaleg DPRA akan mendapat angka sebesar 1.458.

Selanjutnya jika 6 partai lokal mampu mengisi seratus dua puluh persen porsi bacalegnya setiap dapil maka 6 parlok dikali 96 orang bacaleg maka ditemui angka sebesar 576 orang. Sekiranya target serius ini dilakoni oleh 24 partai maka total angka bacaleg parnas dan parlok di Aceh untuk DPRA pemilu tahun 2024 bisa mencapai jumlah 2.034 bukan 1.385.

Objek diskusi merembes pada pertanyaan, ke mana angka 649 bacaleg tersebut dan mengapa dibiarkan kosong dan nyaris luput pula dari perhatian partai, caleg dan masyarakat sebagai instrumen sosial.

Tak berbanding lurus

Hal ini menjadi seksi dikaji mengingat undang-undang memberi ruang besar dan kesempatan partisipasi publik sedemikian leluasa dalam pesta demokrasi ini.

Namun faktanya tidak berbanding lurus dengan tingginya animo warga terlibat langsung saat mendirikan partai pada tahun yang lalu. Buktinya masih banyak kekosongan bacaleg per dapil baik parnas maupun parlok. Inikah yang dinamakan krisis atau apatis? Ironi jika membandingkan dengan hiruk-pikuk kesemarakan partai saat berjuang meluluskan partai menjadi peserta pemilu.

Gencar dan aktifnya komunikasi pengurus dengan anggota partai serta onlinenya hubungan kepengurusan di kabupaten/kota mampu menunjukkan satu tekat yang kuat dan serius demi mengantarkan partai melewati proses verifikasi administrasi dan faktual dengan sempurna. Akhirnya KPU dan KIP Aceh mengetuk palu dan 24 partai tersebut sah menjadi peserta pemilu tahun 2024.

Uniknya, saat proses pencalegkan semangat mereka menurun bahkan sebagian partai justru mengeluh karena sulitnya merekrut dan mendapatkan bacaleg sehingga terlihat nyata krisis bacaleg beberapa dapil seperti tergambar dalam pengumuman DCS di media massa beberapa minggu yang lalu.Tidak semua partai menyahuti tahapan pencalegkan ini dengan suka cita apalagi riang gembira. Sulitnya meyakinkan personal tertentu menjadi bacaleg menjadi tantangan klasik selain memang beberapa bacaleg sudah ada pilihan partai sejak awal.

Dampak kondisi di atas, membuat sebagian partai dengan terpaksa mengusulkan bacaleg per dapil sesuai apa adanya, tak mampu mengisi porsi maksimal, minimalis pun jadi. maka terlihatlah kolom-kolom kosong di antara deretan nomor urut per dapil alias ompong bahkan sebagian partai lebih miris lagi ompongnya bukan hanya dalam kolom per dapil namun kekosongan bacaleg terjadi utuh per dapil.

Periksa saja faktanya, dari sepuluh dapil Aceh ada partai yang hanya mengisi bacaleg setengah bahkan ada yang di bawahnya. Lagi-lagi tanya kenapa? Kondisi ini belum kita bicarakan angka bacaleg DPRK di 23 kabupaten/kota. Sesuai PKPU Nomor 23 Tahun 2023 tentang Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi DPR Provinsi dan DPRK kabupaten/kota untuk Pemilu Tahun 2024. Memaktubkan jumlah kursi DPRK untuk 23 kabupaten/kota di Aceh berjumlah 665 kursi. Sementara bacaleg yang telah diumumkan sesuai DCS 23 Kabupaten/Kota kurang lebih 9.154.

Tingginya kekosongan

Menarik dibahas, sekiranya 24 partai peserta pemilu di Aceh ini mengusul masing-masing bacaleg sebesar seratus persen dari jumlah kursi setiap kabupaten/kota maka 24 partai tersebut memiliki 665 bacaleg seluruh Aceh. Maka jika angka 665 bacaleg per partai tersebar di 23 kabupaten/kota ini dikali 24 partai, angka yang ideal bacaleg DPRK Provinsi Aceh adalah berkisar angka 15.960 bacaleg dan ini belum termasuk porsi 20 persen tambahan dari enam partai lokal.

Nah, angka DCS kabupaten/kota 9.154 tersebut membuktikan tingginya kekosongan bacaleg sebanyak 6.806 bacaleg. Angka yang fantastis dari sebuah pesta demokrasi. Dan lagi-lagi pemilu kali ini mempertontonkan krisis bacaleg hingga menimbulkan keompongannya yang serius.

Berikut beberapa poin kajian sebagai referensi guna menambah literasi kita: 1. Berdasarkan ketentuan Pasal 173 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan antara lain memiliki kepengurusan di 75 persen (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di setiap provinsi.

Pasal ini menjadi dalil bahwa partai yang lulus sebagai peserta pemilu di Aceh telah melengkapi kepengurusannya minimal 16-17 kabupaten/kota dari 23 Kabupaten/kota yang ada di Aceh. Lantas rasio apa yang menjadi argumentasi partai peserta pemilu hingga mengosongkan bacalegnya di dapil-dapil tertentu padahal di minimal 16-17 wilayah tersebut telah ada kepengurusan partai.

2. Animo partisipasi masyarakat terhadap pemilu di Aceh lumayan tinggi bahkan sentimen melek politik masyarakat dewasa ini juga kian meningkat. Hal ini dapat dilihat dari indikator partisipasi pemilih pemilu 2019 yang berkisar pada angka 81, 81 % untuk DPRA, 81,85 % untuk DPR-RI dan 81,96 % untuk Presiden/ Wapres.

Animo partisipasi juga dapat dilihat pada masa perekrutan badan adhoc PPK, PPS dan Pantarlih beberapa bulan yang lalu. Ribuan masyarakat mendaftar sebagai penyelenggara baik di jajaran KPU maupun di Bawaslu. Tentu angka yang diterima jauh lebih sedikit ketimbang dari sisa yang ada. Sejatinya partai pro aktif menjemput bola, mana tahu di antara mereka belum terpilih sebagai penyelenggara, layak menjadi bacaleg?

3. Partai yang hanya mampu mengisi formasi bacaleg di bawah 120 persen apalagi di bawah 100 persen per dapil, bacaleg di dapil tersebut harus bersaing ketat dan bekerja keras untuk memastikan pundi-pundi suaranya mendapat lebih besar dibanding dengan partai lain yang mengisi formulasi bacalegnya lebih banyak.

Ingat, persaingan bacaleg dalam satu partai saja bisa menguras energi dan butuh strategi. Konon lagi mengalahkan bacaleg lintas partai yang komposisi mereka lebih banyak. Kendati kemenangan seseorang tersebut bukan sesuatu yang mustahil jika Allah berkehendak namun dari pengalaman pemilu ke pemilu partai yang mengisi maksimal bacalegnya per dapil lebih berpotensi besar meraih kursi dibanding dengan partai ompong.

4. Adanya gejala abnormal terjadi di beberapa partai sehingga drastisnya kekosongan bacalegnya menurun ke level mengkhawatirkan. Bukankah nawaitu awal mendirikan atau menerima partai dari DPP untuk menjadi peserta pemilu sesuai tingkatannya dan setiap peserta pemilu bertujuan mengisi parlemen? Lantas siapa yang akan mengisi perwakilan partai Anda jika beberapa dapil potensial pun kosong dan bagaimana pula nasib bacaleg minimalis di saat mereka tidak terpilih disebabkan minimnya suara karena sedikitnya bacaleg partai di dapilnya.

Pernahkah pimpinan partai berpikir risiko plus minus tersebut? Hal-hal inilah perlu kajian lanjutan, terutama oleh partai sebagai user bacaleg dalam menyikapi rendahnya animo publik terlibat menuju  kompetitor. Bisa jadi ini indikator dari masyarakat yang mulai distrust (ketidakpercayaan) terhadap dinamika politik dewasa ini atau ada dugaan partai sedang disorientasi sehingga krisis caleg ini bentuk apatisme warga terlibat langsung dalam partai.

Apa pun alasannya kondisi ini layak menjadi momentum evaluasi serius pimpinan partai. Partai butuh sumber daya manusia yang handal dan terampil dalam rangka mengisi jabatan publik dan ini perlu persiapan, strategi dan pengkaderan. Bahkan partai tidak semata fokus pada persoalan pencalegkan pemilu legislatif.

Namun masih butuh energi untuk menyiapkan calon bupati, wali kota, gubernur, menteri hingga presiden. Bersiaplah melakukan seleksi dan penyaring dalam rangka menyensor personal-personal tertentu sebagai cikal bakal pemimpin bangsa. Karena itu pengurus partai tidak boleh pasif apalagi sinis karena peran dan fungsinya amat luar biasa dalam menentukan masa depan agama, bangsa dan negara.

Introspeksi dan evaluasi

Karena itu catatan ini bukan untuk diperdebatkan. Namun berniatlah untuk menjadi media introspeksi dan evaluasi, betapa besarnya cost/biaya, waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk mendirikan sebuah partai. Namun untuk mengisi bacaleg sebagai sebuah hal esensi dari tahapan pemilu justru ditanggapi dingin saja atau sepele.

Kondisi pasif ini bukan hanya terlihat pada pengurus partai tapi reaksi yang sama terlihat juga dari penyelenggara, pengamat, praktisi demokrasi dan insan kampus. Kondisi ini bagaikan hal lumrah terjadi di setiap pemilu sehingga tidak butuh diskusi berlebihan kendati angka kekosongan bacaleg DPRA mencapai 649 orang.

Rasional atau irrasional angka tersebut butuh pemikiran sehat semua pihak.Perlu dimaklum ini masih angka DCS, belum lagi saat menjadi Daftar Calon Tetap atau DCT. Di DCT nanti bacaleg masih berpotensi gugur berjatuhan berdasar tanggapan masyarakat baik karena pelanggaran persyaratan administrasi atau pelanggaran lainnya. jika saja dalam DCT terjadi pengguguran maka angka kekosongan bacaleg kian bertambah pula.

Sebagai mantan penyelenggara, Penulis menganggap hal ini perlu ada edukasi berkelanjutan untuk para pendiri dan penerima mandat partai bahwa, hal terberat bukanlah melahirkan partai sebagai instrumen pemilu tapi hal tersulit adalah mencari, menyiapkan dan mengisi bacaleg partai di setiap dapil.

Karena itu jika terdapat suatu dapil tidak mampu diisi secara maksimal maka bacaleg yang ada dalam dapil tersebut hanya ada dua pilihan: terpilih dengan keajaiban atau terjun bebas tanpa alat bantu.
Demikian tulisan ini sebagai sebuah pemantik diskusi bagi kita semua.

Berita Terkini