Jurnalisme Warga

Ziarah ke Makam Sultan Iskandar Muda

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

MUHAMMAD ZHIYAUL AULIA

Dalam naskah Bustanus-Salatin ditemukan keterangan bahwa dia diangkat sebagai Sultan ke-12 Kerajaan Aceh Darussalam pada usia 17 tahun, tanggal 6 Zulhijah 1015 H (awal April 1607 M) dengan gelar “Sultan Alaiddin Iskandar Muda Meukuta Alam Johan Syah Berdaulat”.

Rakyat Aceh terdiri atas beberapa kaum dan sukee, maka Sultan mengangkat dan menetapkan pimpinan adat pada masing-masing kelompok sukee yang ada. Selain untuk menyatukan mereka, pengangkatan pimpinan adat ini juga dimaksudkan untuk mempermudah penerapan berbagai program pemerintahannya.

Untuk menjamin langgengnya Kerajaan Aceh di bawah panji-panji persatuan, kedamaian, dan kemakmuran sultan kemudian menyusun tata negara atas empat bagian. (Ismuha: 1988, 155). 1). Segala persoalan yang menyangkut tentang adat maka kebijaksanaannya diserahkan kepada sultan, penasihat, dan orang-orang besarnya. 2). Segala urusan hukum diserahkan kepada para ulama atau Qadhi Malikul Adil. 3). Urusan qanun, majelis adab, sopan santun, dan tertib dalarn pergaulan hidup bermasyarakat, termasuk mengenai berbagai upacara adat, diserahkan kepada kebijaksanaan Maharani (Putroe Phang), dan   4). Sedangkan urusan reusam (pertahanan dan keamanan) berada dalam kekuasaan Panglima Kaum atau Bentara pada masing-masing daerah.

Segala kebijakan mengenai adat, hukum, qanun, dan reusam itu kemudian tertuang dalam sebuah ‘hadih maja’ yang hingga saat ini masih dikenal dalam masyarakat Aceh, berbunyi Adat bak poteu meureuhum, hukom bak Syiah Kuala, Meujeuleueih Qanun bak Putroe Phang, Reusam Bak Bentara (Laksamana).

Setelah menetapkan orang-orang yang bertanggung jawab mengatur masing-masing urusan tersebut, Sultan kemudian menyusun dan mengeluarkan berbagai qanun yang akan dijakdikan pegangan. Mengenai aturan yang menentukan martabat, hak, dan kewajian segala ‘uleebalang’ serta pembesar kerajaan tertuang dalam sebuah qanun yang dikenal dengan ‘Adat Meukota Alam’.

Sultan juga menetapkan rencong sebagai lambang kehormatan dan Cap Sikureueng sebagai lambang kekuasaan tertinggi. Tanpa rencong berarti tidak ada pegawai yang mengaku bertugas menjalankan perintah raja. Setiap pegawai istana yang bertugas menyambut tamu asing wajib mengenakan rencong.

Kekuatan armada perang

Kerajaan Aceh Darussalam memiliki angkatan perang yang sangat kuat dengan mendapat ajaran dan latihan dari ahli-ahli yang datang dari Turkiye. Armada perang terdiri atas 300 kapal perang ukuran sedang dan besar yang sanggup membawa 700 hingga 800 tentara. Panglima Angkatan Laut dipimpin oleh Laksamana Malem Dagang dari Meureudu (Panglima Armada Cakradonya). Panglima Pidie sebagai Panglima Angkatan Darat. Teungku Japakeh, ulama asal Madinah tinggal di Meureudu diangkat sebagai Penasihat Sultan. Tidak kurang dari 900 ekor gajah kepunyaan sultan sendiri seluruhnya tahu menjalankan tugas dalam peperangan yang sudah terlatih, untuk berlari, berbelok, berhenti, duduk berlindung, dan sebagainya. Sejumlah 400 prajurit beserta 300 gajah disiagakan di sebuah lapangan luas yang berdekatan dengan Istana Sultan.

Menegakkan syari’at Islam

Salah satu bukti penegakan syari’at Islam dengan seadil-adilnya adalah pelaksanaan hukum rajam terhadap putra mahkota (Meurah Pupok) yang dituduh melakukan perbuatan tercela, 12 Desember 1636 M. Senin 27 Desember 1636 M, Sultan Iskandar Muda wafat.

Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya menempati peringkat kelima kerajaan Islam terbesar di dunia  setelah kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Persia, dan Agra (Uttar Pradesh, India).

Berita Terkini