Pada masa Sultan Alaiddin Riayat Syah Sayyidil Al Mukammil (1589-1604 M), Laksamana Keumalahayati menjadi Panglima Kaway Istana Darud Donya Aceh.
Beliau kemudian diangkat menjadi Laksamana Wanita Pertama di Aceh dan di dunia.
Dengan memiliki lebih 100 buah kapal yang berpusat di Kuta Inong Balee Krueng Raya, pasukan Laksamana Malahayati adalah pasukan yang paling ditakuti imperialis.
Laksamana Malahayati juga yang berhasil membunuh Jenderal Cornelis De Houtman.
"Dalam sejarah dunia, cuma Aceh yang berhasil membunuh 7 Jenderal besar Belanda, yang membuat Belanda saat itu sangat terpukul dan malu di mata dunia", ujar Cut Putri.
Sebelumnya Cornelis De Houtman telah membunuh Syahbandar Aceh yang tengah muhibah ke kapal Belanda.
Laksamana Malahayati yang marah langsung membunuh Cornelis De Houtman dan menangkap semua orang Belanda awak kapal.
Cornelis de Houtman tewas di tangan Laksamana Malahayati, dibunuh di atas geladak kapal Belanda dengan perang tanding satu lawan satu, dalam pertempuran dengan pasukan Inong Balee yang dipimpin oleh Malahayati tanggal 11 September 1599.
Adik Cornelis De Houtman yaitu Frederick De Houtman bersama seluruh awak kapal ditawan oleh Laksamana Malahayati.
Akibatnya Prints Maurits dari Belanda meminta belas kasihan pada Sultan Aceh, maka orang Belanda kemudian dibebaskan.
Akhirnya Aceh dan Belanda menjalin hubungan diplomatik yang baik, utusan Aceh bahkan datang ke Belanda, dan Negara Aceh menjadi negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Belanda dari Spanyol.
Laksamana Malahayati juga berperan penting dalam banyak hal di lingkungan Istana Darud Donya Kesultanan Aceh Darussalam.
Dalam Hikayat Aceh, yang kini sudah diakui UNESCO, pihak Portugis meminta Benteng Kuta Biram (Kuta Leubok) kepada Sultan Alaiddin Riayat Syah Sayyidil Al Mukammil.
Namun sebelum itu dilakukan perlombaan kuda antara Perkasa Alam (Sultan Iskandar Muda) dan penunggang kuda dari Portugis.
Perkasa Alam kemudian memenangkan perlombaan berkuda dan dipuji oleh Kakeknya yaitu Sultan Sayyidil Mukammil.