Hidup rukun bagi masyarakat Aceh merupakan hidup seperti satu keluarga dan rasa persaudaraan yang kuat inilah yang selalu tercermin dalam diri masyarakat dahulu. Dengan demikian penyelesaian sengketa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat selalu diselesaikan dengan hukum adat yang berlaku dalam lingkungan mereka.
Kekuatan hukum adat tersebut juga karena dijalankan oleh aparatur-aparatur desa yang punya kharisma serta memiliki ilmu agama dan dapat dipercaya. Pemilihan aparatur desa dahulu khususnya kepala desa ditunjuk secara aklamasi dalam suatu rapat yang dibuat di meunasah.
Penunjukan kepala desa (keuchik) secara aklamasi pasti yang ditunjuk adalah person yang punya kharisma dan kemampuan serta dapat dipercaya sehingga kedamaian dapat tercipta dalam masyarakat.
Kiranya hal-hal seperti itu tidak tumbuh lagi dalam masyarakat Aceh sekarang ini karena telah terpengaruhi dengan tuntutan globalisasi yang tidak terbendung. Pencalonan kepala desa bisa siapa saja asal memenuhi syarat yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan tanpa memperhatikan kebutuhan kearifan lokal yang telah tumbuh alami dan damai di masyarakat.
Oleh sebab itu pelestarian adat istiadat yang telah diqanunkan oleh pemerintah Aceh seharusnya dijalankan dengan masif sehingga ikatan persaudaraan bisa kuat kembali seperti dahulu. Budaya-budaya yang berjalan di masyarakat Aceh sebelumnya selalu berjalan beriring-iringan dengan agama Islam sehingga bisa berjalan dengan baik dan sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Hukum adat di Aceh telah menjadi perekat dan pemersatu dalam kehidupan bermasyarakat karena telah diresapi kaidah-kaidah hukum Islam sehingga menjadi modal dalam pembangunan. Penyelesaian perselisihan secara hukum adat/kearifan lokal bukan bertujuan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, melainkan untuk mengusahakan jalan damai agar ketenteraman dan kedamaian dalam masyarakat dapat terus berjalan.
Peradilan adat dalam konteks Aceh merupakan sesuatu yang sangat diinginkan karena secara psikologis dapat memuaskan batin sehingga tidak timbul dendam. Penyelesaian sengketa secara kearifan lokal ini dengan menggunakan hukum adat tercermin dari hadih maja yang dikenal dengan ungkapan, “Hukom Lillah Sumpah Bek, Hukom Adat Ikat Bek, Hukom Adee Pakee Bek, Hukom meujroh Pakee Bek”.
Artinya berhukum dengan hukum Allah jangan ada sumpah, berhukum dengan adat jangan diikat, hukum itu harus adil, dengan hukum perdamaian bisa ditegakkan. Oleh sebab itu kiranya kita harus kembali menyelesaikan sengketa-sengketa tindak pidana ringan seperti yang telah digariskan dalam Qanun Nomor 9 tahun 2008 dengan menggunakan cara kearifan lokal secara adat.
Penyelesaian sengketa dengan cara adat bertujuan menciptakan kedamaian dan persaudaraan yang solid serta indah sesuai tuntutan agama Islam. Pilihlah pemimpin yang berkharisma dan berakhlak mulia untuk kemajuan bangsa di masa mendatang.