Rohingya

Tak Ada Lapangan Kerja dan Kurangnya Jatah Makanan Jadi Alasan Rohingya Kabur dari Kamp Bangladesh

Penulis: Yeni Hardika
Editor: Muhammad Hadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ratusan warga Rohingya kembali terdampar di tepi pantai di Kecamatan Muara Tiga (Laweung), Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, Selasa (14/11/2023) sekitar pukul 11.30 WIB.

SERAMBINEWS.COM - Kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia khususnya di perairan Aceh belakangan ini terus menuai kontroversi.

Penolakan terhadap para imigran dari etnis Rohingya ini pun terus bergema sejak kapal-kapal berisi ratusan pengungsi ini kembali bersandar di perairan Aceh pada pertengahan November 2023 lalu.

Khususnya warga di wilayah yang menjadi tempat pendaratan para pengungsi Rohingya usai berlayar melintasi lautan.

Namun meski telah berkali-kali ditolak, kapal-kapal berisi ratusan Rohingya masih saja terus berdatangan.

Per Senin (4/12/2023), jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia tercatat sebanyak 1.478 orang, sebagaimana dilansir dari laman resmi wapresri.go.id.

Sementara itu, Badan urusan Pengungsi PBB (UNHCR) menyebutkan, bahwa jumlah Rohingya yang melarikan diri dari kamp pengungsi di Bangladesh tercatat memecahkan rekor pada tahun ini.

UNHCR mencatat, hingga November 2023, jumlah pengungsi Rohingya yang melarikan diri melintasi Laut Andaman dengan perahu sebanyak 3.722 orang.

Baca juga: Pengungsi Rohingya Terus Bertambah di Aceh, Mahfud MD: Dia Enggak Mau Keluar Lagi dari Indonesia

Jumlah tersebut mengalami kenaikan dari tahun 2022 lalu.

UNHCR juga mengungkap, 60 persen kapal pengungsi Rohingya yang melakukan perjalanan laut dari kamp pengungsi Bangladesh memang memilih tujuan ke Indonesia.

Lantas, apa yang menjadi alasan para pengungsi Rohingya kabur dari kamp pengungsian di Bangladesh dan memilih tujuan di Indonesia?

Alasan Rohingya Kabur dari Kamp Pengungsi Bangladesh

Hampir 1 juta etnis Rohingya, minoritas Muslim dari Myanmar, kini tinggal di kamp-kamp pengungsi yang luas di Bangladesh timur.

Sebagian besar dari mereka lari dari Myanmar pada tahun 2017 karena terjadi, apa yang disebut PBB sebagai, genosida oleh militer Myanmar.

Mereka yang melarikan diri dari kamp dengan perahu mencoba menyeberangi Laut Andaman menuju Malaysia atau Indonesia yang merupakan negara dengan mayoritas Muslim.

Kelompok bantuan dan advokasi, serta para pengungsi itu sendiri, menganggap peningkatan jumlah para pengungsi yang melarikan diri dari kamp di Bangladesh disebabkan oleh kondisi yang semakin memburuk serta tidak adanya masa depan.

Baca juga: Satu WN Bangladesh Ditangkap, Diduga Lakukan Percobaan Penyelundupan Rohingya

Di kamp-kamp yang tertutup di wilayah timur Bangladesh, para pengungsi mengeluhkan meningkatnya kekerasan geng.

Selain itu, kurangnya lapangan pekerjaan, tidak adanya kesempatan bersekolah hingga terbatasnya jatah makanan juga disebut menjadi penyebab para pengungsi memilih kabur dari kamp pengusian di Bangladesh dan melakukan perjalanan laut.

Program Pangan Dunia PBB, sumber utama bantuan pangan bagi para pengungsi memang telah memotong nilai uang bulanan di kamp-kamp pengungsian untuk kedua kalinya pada tahun ini.

Badan itu telah menyalahkan kurangnya dukungan para donatur yang membuat mereka harus kembali memangkas uang bulanan bagi para pengungsi.

Kini, para pengungsi dijatah rata-rata USD 8 atau Rp 124 ribu per orang.

“Dalam ketidakpastian masa depan dan dalam situasi berbahaya di kamp-kamp ini, di mana terjadi pemerasan dan kekerasan geng serta kurangnya jatah makanan dan pengangguran serta tidak adanya kesempatan pendidikan, semua hal ini mendorong orang-orang untuk melakukan perjalanan laut yang berbahaya,” kata seorang pengungsi Rohingya, Mohammed Rezuwan Khan dikutip dari VOA.

Dia mengatakan bahwa saudara perempuan dan keponakannya melarikan diri dari kamp dengan perahu tahun lalu, menuju Indonesia, dan mereka semua tahu risikonya.

“Tetapi ketika orang-orang tidak punya pilihan lain, ketika orang tidak dapat melakukan perjalanan dengan paspor seperti orang-orang lain di dunia,"

Baca juga: Fakta-fakta Pengungsi Rohingya: Larikan Diri dari Bangladesh, Satu Orang dapat Rp 124 Ribu per Hari

"Ketika orang-orang tidak memiliki harapan untuk kembali ke Myanmar dalam waktu dekat dalam beberapa tahun mendatang,"

"Ketika orang-orang mengalami banyak penderitaan di kamp pengungsian, maka perjalanan tersebut menjadi pilihan terakhir dan tidak dapat dibatalkan,” kata Khan.

“Ini seperti melempar koin,” katanya. “Mereka bilang, kami akan bertahan atau kami akan mati," ujarnya.

Indonesia jadi tujuan

Melansir Serambinews.com, menurut pengungsi Rohingnya, alasan mereka ingin sekali menuju Indonesia karena negara tersebut masih bersedia menampung mereka dan memberikan kehidupan yang layak.

UNHCR juga mengungkapkan, kapal-kapal pengungsi Rohingya yang melintasi Laut Andaman memang memilih tujuan ke Indonesia.

Jumlah tersebut naik menjadi 60 persen di tahun 2023, dibandingkan tahun 2022 yang hanya 22 persen.

Juru bicara UNHCR, Babar Baloch mengatakan hal ini karena pada dasarnya saat ini hanya negara di sepanjang rute perjalanan mereka yang masih bersedia menerima mereka.

Keputusan presiden tahun 2016 di Indonesia memerintahkan pihak berwenang untuk membantu kapal mana pun yang mengalami kesulitan di perairan negara tersebut dan membiarkan mereka mendarat.

Meski begitu, hal itu mungkin mulai berubah di tahun 2023 dan mendapat penolakan dari masarakat.

Salah satu perahu membawa pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh bulan lalu dilaporkan didorong kembali ke laut sebanyak dua kali sebelum berhasil mendarat pada percobaan ketiga.

Hamid, dari Amnesty International, menyalahkan perubahan sikap ini karena kegagalan pemerintah pusat dalam mengantisipasi, dan membantu pemerintah daerah di Aceh dalam mempersiapkan diri menghadapi masuknya pengungsi.

Baca juga: Komnas HAM Sebut Penanganan Rohingya Harus Mengacu Perpres Tentang Pengungsi dari Luar Negeri

Dia mengatakan penuntutan terhadap beberapa penduduk setempat sebagai penyelundup manusia karena pernah membantu pengungsi di darat di masa lalu juga berperan dalam hal ini.

Meski begitu, ia dan yang lainnya mengatakan bahwa masyarakat pesisir di bagian barat Aceh sebagian besar telah mengakomodasi para pengungsi sebaik mungkin.

UNHCR menghitung 348 orang tewas atau hilang di antara mereka yang berangkat pada tahun 2022 dan 225 orang pada tahun ini.

“Tahun lalu kami melihat konsekuensi dari tidak adanya pelabuhan atau tempat yang aman untuk turun kapal,” kata Baloch.

“Orang-orang ini berisiko kehilangan nyawa mereka,” pungkasnya.

(Serambinews.com/Yeni Hardika)

BACA BERITA LAINNYA DI SINI

Berita Terkini