Rohingya

‘Tak Ingin Terjadi Hal di Luar Kendali’ Pemko Sabang Desak Pengungsi Rohingya Keluar dari Pulau Weh

Penulis: Agus Ramadhan
Editor: Yeni Hardika
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengungsi Rohingya mengantri untuk diangkut dengan bus dari pantai ke tenda di pelabuhan feri Balohan di pulau Sabang, provinsi Aceh pada 3 Desember 2023. Ada 139 pengungsi Rohingya, termasuk perempuan dan anak-anak, mendarat di provinsi paling barat Indonesia pada 2 Desember 2023, namun penduduk setempat mengancam akan mendorong mereka kembali ke laut.

‘Tak Ingin Terjadi Hal di Luar Kendali’ Pemko Sabang Desak Pengungsi Rohingya Keluar dari Pulau Weh

SERAMBINEWS.COM, SABANG – Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Sabang mendesak Badan PBB urusan Pengungsi (UNHCR) untuk segera ‘mengeluarkan’ seratusan pengungsi Rohingya dari wilayah Sabang.

Alasanya, Pemerintah Kota Sabang dan masyarakat tak ingin terjadi hal-hal di luar kendali terkait dengan mendaratnya pengungsi Rohingya di Pulau Weh.

Diketahui, sebanyak 139 pengungsi Rohingya terdampar di pantai Tapak Gajah, Desa Ie Meulee, Kecamatan Sukajaya, Sabang pada Sabtu (2/12/2023) sekira pukul 2:30 WIB dini hari.

Ini merupakan gelombang kedua pengungsi Rohingya mendarat di Sabang setelah sebelumnya terjadi pada Selasa (21/11/2023) di Pantai Ujong Kareung.

“Setelah melewati waktu selama kurang lebih 5 jam melakukan rapat yang sangat alot, Forkopimda Sabang berkesimpulan meminta kepada UNHCR untuk segera pindahkan pengungsi Rohingya ke luar kota Sabang," ujar Kabag Protokol dan Komunikasi Pimpinan (Prokopim) Setda Kota Sabang, Ady Akmal Shiddiq kepada Serambinews.com, Selasa (5/12/2023).

Baca juga: Fakta-fakta Pengungsi Rohingya: Larikan Diri dari Bangladesh, Satu Orang dapat Rp 124 Ribu per Hari

Seratusan pengungsi Rohingya kembali terdampar di Pantai Batu Hitam Jurong Keuramat, Gampong Ie Meulee, Sabang pada Sabtu (2/12/2023) dini hari. (FOR SERAMBINEWS.COM/Dokumen Pribadi)

Kedatangan pengungsi Rohingya di Pulau paling Barat Indonesia ini telah menimbulkan aksi keras warga untuk menolak kehadiran mereka di tengah masyarakat Sabang.

Hal itu bisa dibuktikan dengan sudah beberapa kali pengungsi tersebut di pindahkan dari satu gampong (Desa) ke gampong lainnya, namun tetap menimbulkan penolakan yang sama.

Ady Akmal Shiddiq mengatakan, alasan pemindahan harus dilakukan karena mempertimbangkan situasi yang berkembang di masyarakat Sabang saat ini.

Diketahui, warga Sabang menolak dengan keras kehadiran pengungsi Rohingya saat ini di tempatkan di kawasan Pelabuhan CT-1 BPKS.

“Menyikapi sikap masyarakat yang menolak kehadiran pengungsi Rohingya, kami tidak ingin terjadi hal-hal di luar kendali, jadi sebaiknya pihak UNHCR segera memindahkan mereka ke tempat yang telah ditentukan sebelumnya,” tegas Kabag Prokopim.

Hingga sampai dengan saat ini, pihak UNHCR yang dihubungi oleh Pemerintah Kota Sabang mengaku masih melakukan koordinasi terkait perpindahan para pengungsi tersebut.

Rapat Koordinasi yang digelar Pemerintah Kota bersama Forkopimda Kota Sabang dan pemangku kepentingan lainnya di ruang rapat kerja Wali Kota Sabang lantai tiga masih menunggu konfirmasi selanjutnya dari UNHCR Indonesia.

         

Alasan Rohingya Kabur dari Kamp Pengungsi Bangladesh

Jumlah pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari kamp pengungsi di Bangladesh tercatat memecahkan rekor pada tahun ini.

Menurut data Badan urusan Pengungsi PBB (UNHCR) tercatat pengungsi Rohingya yang melarikan diri melintasi Laut Andaman dengan perahu sebanyak 3.722 orang hingga November 2023.

Jumlah tersebut mengalami kenaikan dari tahun 2022 lalu.

UNHCR menghitung ada 3.705 orang Rohingya yang melakukan perjalanan laut sepanjang tahun 2022, yang merupakan jumlah terbanyak sejak tahun 2015.

Hampir 1 juta etnis Rohingya, minoritas Muslim dari Myanmar, kini tinggal di kamp-kamp pengungsi yang luas di Bangladesh timur. 

Sebagian besar dari mereka lari dari Myanmar pada tahun 2017 karena terjadi, apa yang disebut PBB sebagai, genosida oleh militer Myanmar.

Mereka yang melarikan diri dari kamp dengan perahu mencoba menyeberangi Laut Andaman menuju Malaysia atau Indonesia, kedua negara itu merupakan negara mayoritas Muslim. 

Beberapa ratus orang tewas saat mencoba berlayar dengan kapal yang penuh sesak dan tidak layak. 

“Saya yakin akan ada lebih banyak orang dalam perjalanan, tapi (jumlah) angka pastinya tidak tahu berapa,” kata Chris Lewa dari Arakan Project, sebuah kelompok yang memantau dengan cermat kapal-kapal tersebut, dikutip dari VOA.

“Saya memperkirakan akan ada lebih banyak lagi yang akan datang,” ujar Usman Hamid, direktur Amnesty International untuk Indonesia.

Baca juga: UNHCR Peringatkan Akan Lebih Banyak Lagi Pengungsi Rohingya yang Mendarat di Desember Ini

Boat diduga berisi warga etnis Rohingya di kawasan Pantai Kuala Pawon, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Kamis (16/11/2023) pagi. Sementara itu warga setempat sudah berkumpul di pinggir pantai tersebut untuk menolak kedatangan mereka (SERAMBINEWS.COM/YUSMANDIN IDRIS)

Kelompok bantuan dan advokasi, serta para pengungsi itu sendiri, menganggap peningkatan jumlah tersebut disebabkan oleh kondisi yang semakin memburuk di kamp-kamp Bangladesh.

Sehingga memudarnya harapan bahwa warga Rohingya akan dapat kembali dengan selamat ke Myanmar dalam waktu dekat.

Myanmar pada umumnya menolak kewarganegaraan Rohingya dan memicu perang saudara di seluruh negeri akibat kudeta militer pada tahun 2021. 

Sementara itu, di kamp-kamp yang tertutup di wilayah timur Bangladesh, para pengungsi mengeluhkan meningkatnya kekerasan geng, kurangnya lapangan pekerjaan dan sekolah, serta terbatasnya jatah makanan. 

Program Pangan Dunia PBB, sumber utama bantuan pangan bagi para pengungsi, memotong nilai uang bulanan di kamp-kamp pada Juni 2023, untuk kedua kalinya tahun ini, menjadi rata-rata USD 8 per orang atau Rp124 ribu.

Badan itu telah menyalahkan kurangnya dukungan para donatur.

“Semua hal ini mendorong orang-orang Rohingya untuk melakukan perjalanan laut yang berbahaya,” kata Mohammed Rezuwan Khan, seorang pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp.

Dia mengatakan bahwa saudara perempuan dan keponakannya melarikan diri dari kamp dengan perahu tahun lalu, menuju Indonesia, dan mereka semua tahu risikonya.

“Tetapi ketika orang-orang tidak punya pilihan lain, ketika orang tidak dapat melakukan perjalanan dengan paspor seperti orang-orang lain di dunia,”

“ketika orang-orang tidak memiliki harapan untuk kembali ke Myanmar dalam waktu dekat dalam beberapa tahun mendatang,”

“ketika orang-orang mengalami banyak penderitaan di kamp pengungsian, maka perjalanan tersebut menjadi pilihan terakhir dan tidak dapat dibatalkan,” kata Khan.

“Ini seperti melempar koin. Kami akan bertahan atau kami akan mati” ujarnya.

Kondisi di darat dan di laut juga mengubah penumpang dan tujuan kapal.

Jika pada tahun-tahun sebelumnya perahu-perahu tersebut kebanyakan mengangkut laki-laki dan gadis perempuan, kini lebih banyak keluarga yang bepergian bersama dan membawa anak-anak. 

Menurut angka UNHCR, 1 dari 5 penumpang pada tahun 2022 adalah anak-anak, namun sepanjang tahun ini hampir sepertiganya.

Juru bicara UNHCR, Babar Baloch dan Chris Lewa dari Arakan Project, mengatakan hal itu juga merupakan akibat dari meningkatnya keputusasaan di kamp-kamp pengungsian.

“Karena mereka tidak melihat masa depan (keluarga) mereka di kamp – pelanggaran hukum, ketidakamanan, kurangnya pendidikan,” kata Lewa. 

“Tetapi di antara berbagai alasan orang meninggalkan kamp, ​​kami mendengar alasan nomor satu adalah pengurangan makanan,” paparnya.

Sementara itu, jauh lebih banyak kapal, sekitar 60 persen, yang berangkat ke Indonesia dibandingkan tahun 2022 yang hanya 22 persen, menurut data UNHCR. 

Baloch dan Lewa mengatakan hal ini karena pada dasarnya saat ini hanya negara di sepanjang rute perjalanan mereka yang masih bersedia menerima mereka.

Keputusan presiden tahun 2016 di Indonesia memerintahkan pihak berwenang untuk membantu kapal mana pun yang mengalami kesulitan di perairan negara tersebut dan membiarkan mereka mendarat.

Meski begitu, hal itu mungkin mulai berubah. 

Salah satu perahu yang mencapai darat Aceh bulan lalu dilaporkan didorong kembali ke laut sebanyak dua kali sebelum akhirnya mendarat pada percobaan ketiga.

Hamid, dari Amnesty International, menyalahkan perubahan sikap ini karena kegagalan pemerintah pusat dalam mengantisipasi, dan membantu pemerintah daerah di Aceh dalam mempersiapkan diri menghadapi masuknya pengungsi. 

Dia mengatakan penuntutan terhadap beberapa penduduk setempat sebagai penyelundup manusia karena pernah membantu pengungsi di darat di masa lalu juga berperan dalam hal ini.

Meski begitu, ia dan yang lainnya mengatakan bahwa masyarakat pesisir di bagian barat Aceh sebagian besar telah mengakomodasi para pengungsi sebaik mungkin.

UNHCR menghitung 348 orang tewas atau hilang di antara mereka yang berangkat pada tahun 2022 dan 225 orang pada tahun ini.

“Tahun lalu kami melihat konsekuensi dari tidak adanya pelabuhan atau tempat yang aman untuk turun kapal,” kata Baloch. 

“Orang-orang ini berisiko kehilangan nyawa mereka,” pungkasnya. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Berita Terkini