SERAMBINEWS.COM - Kecenderungan bunuh diri meningkat di kalangan tentara Israel di tengah perang Gaza
Surat kabar ibrani Yedioth Ahronoth melaporkan tentara Israel telah membentuk tim psikologis yang terdiri atas perawat dan psikiater untuk membantu tentara yang mengalami kecenderungan bunuh diri dan menderita kecemasan terkait perang.
Hal ini menyusul laporan lain dari jaringan berita Kan bahwa lebih dari 2.000 personel militer yang terlibat dalam perang darat di Jalur Gaza mencari bantuan psikiater karena masalah mental dan psikologis.
Laporan tersebut lebih lanjut mengatakan bahwa para prajurit ini, yang terkena dampak psikologis dan emosional akibat invasi darat ke Gaza, sedang dirawat oleh petugas kesehatan mental.
Baca juga: Bela Gaza yang Diserang Israel, Kini Iran Tebar Ancaman Menutup Selat Gibraltar dan Laut Mediterania
Bunuh diri di kalangan tentara Israel telah menjadi tren, dengan media berulang kali melaporkan insiden bakar diri, gantung diri, dan luka tembak yang dilakukan oleh pasukan militer.
Seperti diketahui lebih dari 2.800 tentara Israel sedang menjalani perawatan rehabilitasi medis di Departemen Rehabilitasi Kementerian Pertahanan Israel sejak pecahnya konflik Gaza pada 7 Oktober, seperti dilaporkan oleh media lokal, Selasa (19/12/2023).
Sebanyak 91 persen dari para tentara tersebut dikategorikan mengalami luka ringan, 6 persen luka sedang, dan 3 persen mengalami luka parah, demikian dilaporkan oleh surat kabar Haaretz, mengutip data yang diberikan oleh Limor Luria, kepala departemen rehabilitasi, dalam sidang dengan Komisi Kesehatan Perang.
Data tersebut juga menunjukkan 18 % tentara mengalami masalah kesehatan mental dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD) akibat pertempuran di Gaza melawan Hamas.
Haaretz melaporkan 48?ri para tentara tersebut mengalami "luka pada anggota tubuh."
Baca juga: Israel Dinyatakan Kalah Perang Lawan Hamas di Gaza, IDF Tarik Sejumlah Batalyon dari Lokasi Tempur
Angka dari angkatan bersenjata Israel menunjukkan 463 tentara tewas dan 1.860 lainnya terluka sejak pecahnya konflik Gaza pada 7 Oktober.
Serangan udara dan darat Israel terhadap Jalur Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober telah menewaskan setidaknya 19.667 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan melukai 52.586 lainnya, menurut otoritas kesehatan di enklave tersebut.
Diperkirakan hampir 1.200 warga Israel tewas akibat serangan Hamas, sementara lebih dari 130 tawanan masih berada dalam tahanan.
Jumlah kematian Palestina akibat serangan Israel di Jalur Gaza mencapai 19.667 sejak 7 Oktober, demikian diumumkan oleh Kementerian Kesehatan di enklave tersebut pada Selasa.
Juru bicara Kementerian, Ashraf al-Qudra, menambahkan 52.586 orang lainnya terluka dalam serangan Israel tersebut.
"Pihak berwenang di selatan Gaza tidak lagi mampu menampung lebih banyak korban luka," ujar juru bicara tersebut dalam konferensi pers.
Al-Qudra menyebutkan 99 tenaga medis ditahan oleh pasukan Israel dalam kondisi sulit, "Para tahanan termasuk direktur rumah sakit Al-Shifa, Al-Adwa, dan Kamal Adwan," tambahnya.
Serangan udara dan darat Israel terhadap Jalur Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober telah membuat Gaza hancur dengan setengah dari stok perumahan di wilayah pesisir tersebut rusak atau hancur, dan hampir 2 juta orang mengungsi dalam enklave yang padat penduduk, di tengah kelangkaan makanan dan air bersih.
Para tentara Israel diserang bakteri luka membahayakan.
Pasalnya, bakteri-bakteri tersebut tak mempan diobati.
Para pejabat kesehatan Israel melaporkan situasi membahayakan yang menimpa pasukan Israel yang berperang melawan milisi pembebasan Palestina, Hamas di Gaza.
Situasi yang dimaksud adalah adanya infeksi yang resistan (kebal) terhadap obat pada Tentara Israel yang terluka seusai bertempur di Gaza.
Asosiasi Penyakit Menular (AID) di Israel mengatakan, beberapa patogen yang resistan terhadap obat telah ditemukan, terutama pada cedera anggota badan, termasuk strain bakteri Klebsiella dan Escherichia coli yang sangat resisten, dan jamur Aspergillus.
“Di semua rumah sakit dilaporkan bahwa tentara telah kembali dari medan perang dengan infeksi yang resisten,” kata Prof Galia Rahav, Ketua AID dilansir The Telegraph.
“Perlu dicatat kalau sebagian besar infeksi yang didiagnosis di antara tentara yang terluka juga ditemukan di Israel dari waktu ke waktu, tetapi ditemukan pada orang yang terpapar bakteri ini, dan bukan sebelumnya,” tambah Prof Galia Rahav.
Dia menambahkan: “Kontak dengan tanah dan lumpur di sana menyebabkan paparan terhadap bakteri resisten tersebut, dan juga jamur.”
Sejak awal November, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan tentang meningkatnya risiko wabah penyakit di Gaza, seiring dengan disintegrasi layanan kesehatan, sistem air dan sanitasi.
“Mengingat kondisi kehidupan dan kurangnya layanan kesehatan, lebih banyak orang yang bisa meninggal karena penyakit dibandingkan akibat pemboman,” tulis Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus bulan lalu dalam sebuah postingan di Twitter.
Awal bulan ini, terdapat laporan mengenai wabah disentri di antara tentara Israel di Jalur Gaza, dengan meningkatnya penyakit diare dan usus yang memerlukan 18 evakuasi untuk mendapatkan perawatan medis.
Wabah ini diyakini disebabkan oleh patogen menular Shigella, sementara sanitasi yang tidak memadai dan penyimpanan makanan yang buruk, yang disumbangkan oleh Israel sejak awal pertempuran di Jalur Gaza, diduga sebagai sumber penularan.
Ini bukan pertama kalinya bakteri resisten terbentuk di zona konflik, dengan infrastruktur layanan kesehatan yang hancur dan penggunaan antibiotik yang tidak terkendali mendorong bakteri resisten keluar dari medan perang.
Contoh sebelumnya adalah bakteri super Iraqibacter yang mematikan, Acinetobacter Baumannii, yang dibawa kembali ke rumah sakit AS oleh tentara terluka yang bertugas di Irak dan Afghanistan.
Iraqibacter, yang terkenal sebagai salah satu dari enam patogen paling mematikan yang resistan terhadap obat, menginfeksi luka dan menyebar melalui aliran darah.
Hal ini dapat menyebabkan sepsis, kehilangan anggota tubuh dan bahkan bisa berakibat fatal.(*)