Konflik Aceh menghancurkan pendidikan Aceh hancur lebur: sekolah dibakar, guru jadi korban penembakan, guru di pelosok Aceh merasa tidak aman ketika pergi mengajar ke sekolah, kehidupan ekonomi guru yang sangat berkecukupan, tetapi para tenaga pendidik di Aceh di masa itu tidak surut untuk mengabdikan diri untuk anak negeri.
Perubahan generasi muda Aceh saat ini tidak terlepas dari jasa guru-guru yang berani bertaruh hidup di masa Aceh sedang berkecamuk perang.
Hikmah dibalik bencana
Tahun 2004, mungkin situasi paling dramatis di awal pemerintahan SBY. 20 Oktober 2004, SBY dilantik sebagai Presiden ke 6 Republik Indonesia, berselang 2 bulan setelah itu, 26 Desember bencana gempa bumi dan Tsunami menerjang pesisir pantai Aceh.
Di kala itu, situasi bencana Tsunami yang dahsyat itu betul-betul menguji kepemimpinan SBY, karena sampai di penghujung tahun 2004, konflik Aceh belum mereda dan status darurat sipil masih berlaku. Aceh masih soliter.
Dalam situasi darurat, beberapa kota di Aceh, hancur, kota Banda Aceh sebagai ibukota provinsi lumpuh total. Krisis kemanusian sudah didepan mata.
SBY mengambil sikap dan keputusan yang tepat: Aceh harus dibuka pintu darurat untuk mendapatkan bala bantuan Internasional.
Kehancuran akibat Tsunami, bantuan internasional untuk korban mengalir deras ke Aceh. Tahun 2005, semua pihak baik itu Gerakan Aceh Merdeka(GAM) dan Pemerintah Indonesia mulai sama-sama menahan diri.
Moment itu dijadikan awal untuk merajut perdamaian di Aceh. Perlahan-lahan kedua pihak membuka diri, dan klimaksnya, 16 Agustus 2005, GAM dan Pemerintah Indonesia sepakat menandatangani perjanjian perdamaian di Helsinki.
Berkat perdamaian yang tercipta di bawah kepemimpinan SBY, situasi Aceh kian berubah, denyut nadi pembangunan terus berjalan.
Perubahan Nasib Guru
Dunia pendidikan di Aceh seiring waktu juga memulihkan dirinya, guru-guru di Aceh mulai ikut merasakan perubahan.
Karena berselang waktu, di tahun 2005 lahirlah kebijakan sertifikasi guru berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005, kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008.
Dari itu dimulailah cerita: guru tidak hanya sekedar dianggap “pahlawan tanpa tanda jasa”, seperti yang dikisahkan dalam lagu Oemar Bakri yang dinyanyikan Iwan Fals, lagu yang menceritakan balada kehidupan guru, jauh dari kata sejahtera.
Guru memang dikenang dan dijuluki pahlawan tanda jasa, namun guru juga manusia yang butuh kesejahteraan dan dihargai dalam rangka mendidik dan mencerdaskan anak bangsa.
Semenjak Indonesia merdeka, profesi guru selalu jauh dari kesejahteraan, terutama sekali di daerah.
Pembangunan Indonesia awal kemerdekaan, Orde Lama sampai awal reformasi, kepedulian terhadap guru dinilai masih sangat kurang.