dr Aslinar SpA M Biomed, Wakil Ketua MDMC PW Muhammadiyah Aceh
SEJAK beberapa bulan terakhir, etnis Rohingya secara masif berdatangan ke Aceh. Dari data UNHCR, selama tahun 2023 terdapat 1.684 orang mendarat di Aceh dan 700 di antaranya mendarat di bulan November sampai Desember 2023. Sebenarnya ini bukanlah hal yang baru karena sejak tahun 2015 mereka sudah mulai berdatangan ke negeri Serambi Mekah ini.
Namun belakangan semakin bertambah jumlah yang datang. Setiap rombongan yang datang, mereka menggunakan kapal kayu yang bermuatan banyak, dengan penumpangnya yang terdiri atas laki-laki, perempuan dewasa, para lansia, bayi dan anak-anak.
Mereka semuanya berasal dari Coxs Bazar, Bangladesh. Kita ketahui bahwa sejak tahun 1970-an telah terjadi pembasmian etnis atau genosida terhadap etnis Rohingya. Puncaknya pada tahun 2017 terjadi bentrokan hebat antara tentara pembebasan Rohingya dengan tentara pemerintah Myanmar. Ratusan desa dihancurkan dan 700 ribu orang kabur menyelamatkan diri ke berbagai negara.
Konflik berkepanjangan yang terjadi di Myanmar, telah membuat banyak kesedihan yang mendalam. Berbagai penderitaan yang dialami warga Rohingya membuat mereka harus lari (terusir) dari negaranya sendiri. Sebagian besar mereka mengungsi ke negara tetangganya yaitu Bangladesh. Yang sampai ke Coxs Bazar adalah mereka yang selamat dari kerasnya perjalanan menuju Bangladesh. Mereka harus melewati pegunungan dan juga laut yang sangat luas.
Penulis pernah bertugas sebagai relawan medis dari MuhammadiyahAid yang tergabung dalam Indonesian Humanitarian Alliance (IHA), pada Januari 2018. Tugas kami adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada para pengungsi yang berada di kamp Jamtoli, Cox Bazar. Jumlah mereka yang bermukim di situ sekitar 50 ribu orang pengungsi. Jumlah total para etnis Rohingya yang lari ke Bangladesh 1,2 juta jiwa orang.
Sesuai profesi saya sebagai dokter spesialis anak, maka pasien yang saya layani khusus pasien anak saja. Berkaitan dengan kondisi pengungsian yang padat juga perilaku serta kebersihan diri dan lingkungan yang masih sangat kurang, berbagai penyakit pun menyerang mereka. Sambil memeriksa pasien, dimana saya didampingi oleh seorang penerjemah yang bisa berbahasa Rohingya, saya pun menanyakan bagaimana kisah mereka bisa sampai ke pengungsian ini. Mendengar bagaimana penyiksaan yang dialami di Myanmar, keluarga terdekat dibunuh, dibakar hidup-hidup dan juga ditembak, sungguh sangat membuat dada terasa berat.
Nah, selama lebih kurang tujuh tahun berada di kamp pengungsian di Coxs Bazar, kondisi mereka masih sangat menyedihkan. Masih tinggal di kamp, anak-anak yang tidak mendapatkan gizi yang cukup untuk tumbuh kembangnya, tidak mendapatkan pendidikan memadai, kesehatan yang tidak terjamin dan para lelaki sebagai kepala keluarga yang tidak memiliki pekerjaan layak untuk menghidupi keluarganya.
Ditambah lagi dengan kondisi keamanan di kamp yang memburuk secara signifikan sejak satu tahun terakhir, mendorong beberapa keluarga Rohingya untuk ‘hijrah’ ke negara lain. Maka perjalanan yang berbahaya pun ditempuh untuk mencari keamanan dan kehidupan yang lebih stabil.
Aceh menjadi tempat yang paling sering disinggahi oleh para etnis Rohingya ini.
Hate speech
Daratan Aceh yang didatangi yaitu Pulau Weh Sabang, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara dan Aceh Timur. Mereka datang ke tempat kita bukan untuk mengeksploitasi negara kita.
Mereka datang membawa harapan, mereka datang karena keputusasaan akibat pembunuhan, dan ketidakamanan kondisi di tempat sebelumnya. Aceh selalu menerima dengan tangan terbuka, ikut serta membantu keperluan para pengungsi yang datang. Aceh sangat dipuji dengan sikap yang ditunjukkan kepada para pengungsi etnis Rohingya.
Namun kedatangan mereka kali ini disambut dengan penolakan yang luar biasa dari sebagian masyarakat Aceh. Alasan menolak disebutkan karena berkaitan dengan perilaku buruk dari para etnis Rohingya yang sebelumnya datang ke tempat tersebut. Ada yang terlibat dalam kriminalitas misal mencuri, mengganggu lingkungan masyarakat sekitar juga sebagian banyak yang melarikan diri setelah sebelumnya sudah dibantu masyarakat. Hal tersebut akhirnya memicu penolakan.
Penolakan tidak hanya terjadi secara langsung di lapangan namun penolakan beserta hate speech dari para netizen jauh lebih kejam. Setiap ada akun yang berfollower banyak memberitakan tentang etnis Rohingya, maka akan ada ribuan komentar negatif yang diberikan. Anehnya komentar tersebut hampir dipastikan seragam dan sangat masif siang dan malam.
Berikut ini beberapa komentar netizen yang seharusnya tidak etis diucapkan. Misalkan, “lemparkan saja kembali mereka ke laut”, “mereka harus segera diusir dari Aceh, kalau tidak nanti akan merebut tanah nenek moyang kita”, “mereka tidak ada bedanya dengan Israel”, “mereka itu Israel kedua”, “biarkan mereka kelaparan jangan dibantu, nantinya akan berpulang juga”, “biarkan mereka kehujanan dan kepanasan tanpa tenda, nanti akan sakit dan berpulang”, “buat apa membantu mereka, masyarakat kita saja masih banyak yang tidak makan, banyak yang tidak punya tempat tinggal”, dan lain sebagainya. Bila ada yang membela Etnis Rohingya maka akan ramai diserbu dengan komentar “ayo bawa saja etnis Rohingya itu ke rumah Anda/kantor Anda”.
Mengapa bisa timbul komentar kejam demikian? Mengapa sangat membenci etnis Rohingya? Apakah mereka mempunyai salah besar kepada kita? Ingatlah kita bahwa Aceh juga pernah mengalami situasi yang sama di mana konflik yang terjadi di daerah kita berlangsung selama bertahun-tahun yang menyisakan banyak trauma baik bagi orang tua maupun anak-anak. Kemudian setelah konflik panjang tersebut, kita kembali diuji oleh Allah dengan musibah bencana gempa dan gelombang tsunami yang maha dahsyat.