Prof. Dr. APRIDAR, S.E., M.Si., Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Syiah Kuala dan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
Wali Nanggroe (WN) merupakan salah satu lembaga kekhusussan Aceh yang berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kehadiran Lembaga Wali Nanggroe menjadi bagian yang disepakati pada Pasal 1.1.7. Nota Kesepahaman Damai antara Pemerintah Republik Indonesia (Pemri) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.
Kesepakatan ini merupakan pernyataan komitmen kedua belah pihak untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat bagi semua.
MoU Helsinki memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi.
Sebelum kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, keberadaan Lembaga Wali Nanggroe duluan diatur dalam kerangka hukum otonomi khusus yang diberikan kepada Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Undang-undang tersebut memberikan kekhususan kepada Aceh yang memiliki kewenangan dan keistimewaan dalam ranah pemerintahan, agama, adat istiadat, dan hak asasi manusia.
Sesuai dengan undang-undang tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) membuat qanun untuk mengatur berbagai aspek kehidupan di Aceh, termasuk pengakuan gelar Wali Nanggroe dan ketentuan-ketentuan terkait.
Di samping itu, Keputusan Presiden (Keppres) juga menjadi dasar hukum pengakuan gelar Wali Nanggroe dan penunjukan individu tertentu untuk menduduki posisi ini.
Dalam Keppres tersebut dirinci tanggung jawab, kewenangan, dan hak-hak yang melekat pada gelar tersebut.
Adat istiadat dan hukum adat Aceh juga dapat menjadi dasar hukum bagi pengakuan gelar Wali Nanggroe. Pengakuan masyarakat Aceh terhadap keberadaan gelar ini dapat tercermin dalam norma-norma hukum adat yang berlaku di daerah ini. Gelar Wali Nanggroe umumnya diberikan kepada tokoh yang dianggap memiliki kontribusi besar terhadap Aceh dan diakui oleh masyarakat setempat.
Oleh karena itu, dasar hukumnya juga mencakup pengakuan masyarakat dan tradisi adat yang berkembang di Aceh.
Keberadaan lembaga terhormat itu tentu akan memiliki makna besar bagi warga Aceh, apabila mampu ditata kelola dengan peta jalan (roadmap) yang jelas.
Adapun cakupan yang seharusnya melekat di dalamnya, selain adat istiadat dan hukum adat Aceh, juga harus mampu mendorong pembangunan infrastruktur, pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, pengembangan sumber daya manusia (SDM), pelestarian budaya dan lingkungan, peningkatan keamanan dan kesejahteraan, inovasi dan teknologi, pemerintahan dan tata kelola, partisipasi masyarakat, hingga kerja sama regional dan internasional.
Kedudukan Wali Nanggoe yang begitu tinggi, seharusnya juga perlu diikuti dengan kerja yang sepadan, seperti halnya pembangunan SDM, sumber daya alam hingga pengembangan infrastuktur yang mumpuni.
Rencana pengembangan jalan raya, jembatan, dan transportasi umum, serta proyek-proyek pembangunan bandara dan pelabuhan hingga infrastruktur pendukung lainnya seperti listrik, air bersih, dan sanitasi hendaknya perlu dorongan oleh lembaga terhormat ini.
Begitu pula halnya terhadap berbagai program yang dapat mendorong investasi dan pengembangan sektor ekonomi utama, meningkatkan sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan, serta inisiatif untuk mendukung pengembangan sektor pariwisata, sangat diperlukan pengayom yang dapat menggerakkan masyarakat untuk turut serta terlibat aktif dalam gerak pembangunan tersebut.
Di bidang pendidikan dan kesehatan yang menjadi tumpuan dasar terhadap pembangunan peradaban bangsa, sangat dibutuhkan program peningkatan akses dan mutu pendidikan di seluruh tingkatan. Dari program mulia tersebut, tentu akan dapat meningkatkan ketersediaan fasilitas kesehatan dan pelayanan medis serta pendidikan yang lebih baik bagi masyarakat.
Inisiatif untuk meningkatkan keterampilan dan pendidikan masyarakat melalui pelatihan dan pengembangan peningkatkan kualitas SDM, tentu akan dapat membangun peradaban bangsa secara berkesinambungan. Hal ini tentu akan dapat melestarikan warisan budaya dan sejarah Aceh yang pernah menorehkan tinta emas dalam pembangunan peradaban bangsa.
Untuk jangka panjang, Aceh perlu menginisiasi pelestarian lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam yang lebih bermartabat serta keberlangsungan kehidupan.
Langkah-langkah untuk meningkatkan keamanan dan ketertiban di wilayah tersebut juga sangat perlu dilakukan. Demikian pula program kesejahteraan masyarakat, termasuk bantuan sosial dan perlindungan sosial. Tak terkecuali rencana untuk memajukan sektor teknologi dan inovasi serta pengembangan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi.
Berikutnya adalah upaya untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan dan transparansi. Juga reformasi administrasi publik untuk meningkatkan efisiensi dan ketanggapan (respons).
Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan jangan pula dinafikan. Inisiatif untuk meningkatkan keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan juga perlu digencarkan. Termasuk upaya untuk meningkatkan kerja sama dengan pemerintah daerah lainnya dan lembaga internasional.
Partisipasi dalam proyek-proyek regional yang dapat mendukung pembangunan Aceh juga penting dilakoni. Sepenting untuk melibatkan berbagai stakeholder dalam penyusunan roadmap ini, termasuk pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat, untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitas implementasinya.
Berbagai program yang menyentuh hajat hudup orang banyak, seharusnya menjadi bahagian yang perlu adanya perhatian serta pengawasan dari Wali Nanggroe agar masyarakat merasakan keberadaan lembaga yang terhormat ini.
Aceh sangat memerlukan penganyom dalam menapaki kehidupan yang semakin sulit ini. Jalan yang semakin berliku, diperlukan nakhoda yang mampu menggerakkan seluruh komponen bangsa.
Keberadaan Wali Nanggroe bukan sebagai ‘menara gading’ yang hanya megah untuk dipandang. Masyarakat yang sedang dilanda kehausan, sangat mendambakan ‘menara air’ yang menyejukkan bagi semua kalangan. Terutama untuk dapat mengairi barbagai ketersumbatan kesejahteraan, maka diperlukan roadmap yang mampu membawa masyarakat kepada kesuksesan dengan kesejahteraan sebagai barometer sukses kehidupan di dunia dan akhirat kelak.
Di tahun politik yang begitu rentan terhadap perpecahan ini, tentu sangat diperlukan figur orang yang dituakan, yang dapat mempersatukan masyarakat agar sehat dalam berdemokrasi dengan tidak mengorbankan persatuan yang dapat merusak tatanan kehidupan berbagsa dan bernegara. Perbedaan pendapat harus dapat dijadikan sebagai rahmat dalam tata krama kehidupan berbangsa.
Dengan adanya 'roadmap' yang baik dan jelas, tentu akan menuntun lembaga pemersatu adat dan budaya Aceh serta pengayom bangsa Aceh ini untuk selalu berbuat yang terbaik terhadap warganya.
Mencari bibit unggul Aceh dengan cara pemberdayaan lembaga pendidikan tinggi, sehingga dari hasil penelitian perguruan tinggi akan dapat dipersembahkan kepada masyarakat, di mana masyarakat memiliki kesempatan untuk menghasilkan komoditas unggulan yang dapat menyejahterakan diri dan keluarganya.
Sebagai lembaga adat dan budaya, tentu diperlukan langkah konkret untuk menggelorakan “dinul Islam” sebagi roh pendidikan di negeri syariah agar membudaya dengan menggunakan rujukan yang tepat dalam menapaki kehidupan dunia, yang juga tentu akan menyelamatkan kehidupan di ‘negeri seberang’ kelak.
Dengan adanya lembaga ini sejak 2013 lalu, semoga berbagai perselisihan dapat dengan mudah diselesaikan, sehingga tidak ada lagi sumbatan pembangunan di negeri yang penuh keberkahan, Aceh Darussalam, ini.