MUHAMMAD, M.Pd., Wakil Dekan I FAI dan Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) Bireuen, melaporkan dari Bireuen
Indatu (nenk moyang) bangsa Aceh melalui perjuangan yang panjang telah mewariskan bangsa ini agar tumbuh dan berkembang berbarengan dengan paham agama yang kuat sebagai landasan hidup untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat.
Tak kurang 70.000 jiwa lebih gugur di ujung pedang saat mengusir Kolonial Belanda demi mempertahankan kedaulatan Aceh yang hari ini kita nikmati dengan suka cita.
Harapannya, pengorbanan darah dan nyawa kelak akan terbayarkan dengan lahirnya putra-putri terbaik Aceh yang melebihi Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pang Nanggroe, dan pahlawan terbaik Aceh lainnya. Di tangan generasi muda tersebut dititahkan darah yang mengalir di ujung pedang, tombak, dan peluru Kolonial Belanda menjadi motivasi dan semangat juang tinggi untuk masa depan remaja Aceh yang lebih baik dan kembali diharapkan membawa nama besar Nanggroe Aceh ‘meucuhue ban sigom donya’ (masyhur ke seluruh dunia).
Harapan itu rasanya gugur seketika melihat beberapa tahun belakangan ini remaja Aceh menggantungkan masa depannya di ujung celurit dan samurai. Jika indatu kita mempertaruhkan nyawa demi kehidupan, sayangnya remaja kita saat ini menggugurkan harapan dan masa depan pada perilaku tidak pantas, hanya untuk terlihat keren dengan bergabung bersama geng-geng tertentu, terbanyak geng motor, dengan membawa celurit dan samurai sebagai alasan mempertahankan diri dari lawan.
Parahnya lagi, sejata tajam digunakan untuk membegal dan merampas harta, bahkan tidak segan-segan sampai menghilangkan nyawa korbannya.
Kondisi remaja Aceh saat ini mulai banyak munculnya geng-geng remaja yang cukup meresahkan masyarakat. Geng-geng remaja tersebut muncul dalam dua kelompok. Kelompok pertama dari perkumpulan kelompok kecil di sekolah, lalu mencari anggota untuk memancing emosi yang berakhir pada bentrok antarsekolah.
Versi kedua terbentuk di luar lembaga pendidikan, seperti perkumpulan anak motor yang menciptakan geng berdasarkan merek/jenis sepeda motor masing-masing. Di Aceh saat ini hampir di semua kabupaten/kota terdapat kelompok remaja seperti ini.
Kasus ini ibarat gunung es, yang tertangkap hanya yang terindikasi dan terbukti melakukan tindak pidana. Jika ditelusuri lebih jauh terdapat ratusan kelompok remaja di kabupaten/kota masing-masing yang sudah terpapar perilaku menyimpang dan mencederai masa depan ramaja Aceh sebagaimana disebutkan di atas.
Kembali k-20 tahun silam, kondisi ini biasanya kita tonton di televisi terjadi di luar Aceh dan kota-kota besar yang krisis moral, agama, dan faktor ekonomi. Akan tetapi, hari ini remaja Aceh sendiri yang menjadi pelaku tindakan yang mengkawatirkan ini.
Lalu pertanyaannya, apa yang sudah terjadi dalam kurun waktu 20 tahun yang semu tersebut sehingga remaja Aceh berada pada fase yang mengkhawatirkan ini? Apakah selama ini kita terus bersembunyi dan merasa nyaman dengan julukan Aceh Serambi Makkah, Negeri Syariat, Negeri Seribu Dayah, dan julukan lainnya, sehingga tidak berbuat apa-apa? Tentu jawaban tersebut hanya akan bisa dijawab oleh individu masing-masing melalui peran apa yang sudah dilakukan untuk menyelamatkan generasi ini, baik sebagai orang tua, lembaga pendidikan, maupun masyarakat pada umumnya.
Timbul berbagai asumsi dan perang argumen di masyarakat menyikapi persoalan ini. Masyarakat menyalahkan lembaga pendidikan, sedangkan lembaga pendidikan menyoroti peran orang tua (keluarga), dan masyarakat umum lainnya, serta mempertanyakan fungsi polisi dan sebagainya.
Inilah hasil dari zona nyaman yang kita nikmati selama ini: orang tua merasa lepas tanggung jawab mendidik karena sudah meyekolahkan anaknya, lembaga pendidikan merasa sudah melakukan tugasnya sesuai intruksi pemerintah, dan terakhir masyarakat/lingkungan mengambil peran sebagai pelaksana hukum rimba kepada remaja yang ditemukan bersalah. Inilah kondisi yang kita tonton secara vulgar tanpa perlu analisis mendalam.
Dalam kajian pendidikan, tiga pilar utama untuk mendidik remaja agar mencapai perubahan dan tujuan diinginkan, Ki Hajar Dewantara mengistilahkannya dengan tripusat pendidikan, yaitu lembaga pendidikan (guru), orang tua, dan lingkungan masyarakat. Ketiga elemen tersebut wajib bersinergi satu dengan yang lainnya untuk mencapai perubahan.
Namun, faktanya tidak demikian, lembaga pendidikan atau guru lebih fokus pada pemenuhan standar ajar yang ditetapkan belum lagi setiap tahun peraturan yang berubah-ubah, sehingga guru yang kita anggap manusia biasa manjadi manusia seribu tangan dan harus menyelesaikan bermacam tuntutan di waktu yang hampir bersamaan. Kondisi ini turut memengaruhi efektivitas guru dalam mencapai perubahan perilaku remaja di sekolah.