Dalam semangat saling menghormati itu, kata Anna, ruang dialog tetap harus dibuka.
Sebab, ilmu pengetahuan sudah semakin maju dan berkembang, termasuk terkait astronomi.
Penentuan awal bulan Hijriyah bisa didekati secara empiris melalui hisab dan atau rukyatul hilal, tidak semata berdasar keyakinan spiritual semata, sehingga, argumentasinya juga ilmiah.
“Kemenag terus membuka ruang dialog dan diskusi terkait penentuan awal Ramadan. Dari situ diharapkan akan terjadi proses tukar informasi dan pemahaman terkait pilihan dalam mengawali puasa Ramadan,” sambungnya.
Muhammadiyah, misalnya, menetapkan Ramadan pada 11 Maret karena argumentasi hisab wujudul hilal. Pemerintah menggunakan pendekatan Hisab sebagai informasi awal dan Rukyatul Hilal sebagai konfirmasi.
“Bagaimana argumentasi awal Ramadan 1445 H pada 7 Maret atau 10 Maret? Kita bisa diskusikan agar bisa saling memberikan pemahaman,” sebut Anna.
Baca juga: Puasa Mulai 12 Maret, Ini Waktu Imsak dan Jadwal Buka Puasa Ramadhan 2024 untuk Wilayah Aceh Selatan
Hal yang tidak kalah penting, lanjut Anna, adalah bagaimana umat Islam mengisi syiar Ramadhan dengan tetap menjaga kekhusyukan dan kekhidmatan.
Ikhtiar yang bisa dilakukan adalah dengan memedomani Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
Misalnya, volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 dB (seratus decibel).
“Edaran juga mengatur bahwa penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan, baik dalam pelaksanaan shalat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarrus Al-Qur’an menggunakan pengeras suara dalam,” ujarnya.
“Sementara untuk takbir Idulfitri di masjid/musala dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar sampai dengan pukul 22.00 waktu setempat dan dapat dilanjutkan dengan Pengeras Suara Dalam,” tandasnya. (*)