Ahmad Humam Hamid *)
Dr. Baidowi agak sedikit gundah, karena hampir tak ada data tertulis yang tersedia untuk sejarah itu. Yang ada hanya sejumlah penuturan tentang keberadaan dan sepak terjang Panglima Itam yang tersebar di beberapa tempat di Pidie, Lhoksukon, dan Tamiang. Ketika ia menyebut nama bang Qis sebagai penulis saya secara reflektif merespon, “ you got it”- itu sudah benar.
Saya ingat sekali beberapa kali bang Qis menyebut dan menceritakan kepada saya tentang keberadaan panglima Itam. Ia mendapatkan kisah itu dari ibu ayahnya, yang sudah renta.
Sang nenek yang renta itu hidup pada masa tiga dekade akhir abad 19 sempat melihat Panglima Itam, karena ayahnya adalah seorang anggota lasykar Panglima Itam.
Tak mengherankan pada saat-saat tertentu Panglima Itam bertandang ke rumah kakek buyut Qismullah.
Ada sebuah barang biasa dalam perang Aceh yang diwariskan oleh Panglima itam kepada kakek buyut Qismullah yang disimpan.
Kemudian benda itu diwariskan kepada ibu ayahnya. Barang itu adalah pedang sang Panglima. Saya tak pernah melihat pedang itu, dan menurut cerita Dr. Baidowi, pedang itu telah dilihatnya, dan nampak klasik bentuknya.
Ketika Dr. Baidowi menyampaikan kerisauannya, saya menepis kekuatiran itu. Berlagak sok ahli sejarah saya menyampaikan kepada Baidowi, penulisan sejarah Aceh modern pada dasarnya bersumber pada dua.
Pertama, catatan para pengunjung seperti Laksamana Perancis, Augustin de Beaulieu (1589–1637),Frederick de Houtman (1603) Pedagang dan penjelajah Belanda, dan Admiral Kerajaan Inggris Sir James Lancaster,- utusan khusus ratu Elizabeth I kepada Sultan Al Mukamil , dan cukup banyak catatan pengunjung lain ke Aceh.
Sumber kedua adalah sejarah versi tutur “oral history” yang ditulis dalam bentuk hikayat, seperti Hikayat Aceh, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Malem Dagang, Adat Aceh dan berbagai hikayat lain yang menjadi bahan awal yang kemudian dikaitkan dengan berbagai fakta lain dari berbagai sumber lainnya.
Pengakuan tentang hikayat sebagai salah satu sumber utama sejarah Aceh juga bukan barang baru.
Bukankah Husein Jayadingrat, Denys Lombard, Anthony Reid, dan Sheerbanu Khan juga menggunakan hikayat sebagai salah satu sumber tulisan mereka.
Bukankah sejarawan Takeshi Ito dari Jepang, dan cukup banyak peneliti sejarah kontempoer Aceh lain yang juga menggunakan berbagai koleksi hikayat untuk menulis sejarah Aceh?
Apa yang salah dengan Qismullah jika dia menggunakan metode yang sama, dengan menggunakan metode sejarah tutur- “oral history” untuk menulis tentang Panglima Itam?
Bukankah sebagian cerita itu seperti itu dapat dikonfirmasi dengan Dutch Register tentang Aceh. Bukankah semuanya dapat diuji lagi dari berbagai sumber lain dari gudang informasi Aceh di KITLV, di Leiden, negeri Belanda.
Apa yang salah dengan Qismullah? Apa karena ia pribumi?-inlander Aceh yang juga bukan sejarawan karena sekolahan?
Ketika saya ajukan sejumlah pertanyaan itu ke Dr. Baidowi, ia tertawa terbahak-bahak, sambil memeluk saya.
Rupanya apa yang saya sampaikan Baidowi sudah lebih dahulu tahu, dan hanya ingin menguji pengetahuan saya tentang sejarah Aceh dan berbagai metode penelitiannya.
Draft buku Panglima Itam, kakek buyut Surya Paloh itu akhirnya siap setahun yang lalu.
Sebelum buku itu dicetak ,saya dan bang Qis, dan beberapa kolega Baidowi, seorang sejarawan muda, dan teman-temannya dari Yayasan Sukma diajak ke Buleleng, di Bali Utara. Di sana kami tinggal di rumah keluarga besar Baidowi dan isterinya.
Menikmati liburan di pedesaan Bali adalah kenangan terakhir saya dengan bang Qis. Ia dan isterinya terbang dari Malaysia ke Bali untuk diskusi buku Panglima Itam sambil berlibur di kampung Islam, ditengah ummat Hindu yang hidup berdampingan dan cukup rukun dengan komunitas penganut agama Islam disitu.
Kami makan, tidur, diskusi, dan jalan-jalan, menikmati keindahan sisi lain Bali Utara yang tak hiruk pikuk seperti di Denpasar atau Pantai Kuta. Dan seperti biasa, semenjak muda bang Qis adalah penikmat makanan ,-foodie kata anak sekarang. Dan di Buleleng kali ini, saya melihat dia tidak banyak berobah.
Saya tahu itu, karena kami memang sama-sama foodie. Dia sangat menikmati makanan, walaupun sudah operasi by pass jantungnya. Kadang saya terbawa dengan foodie nya bang Qis menikmati makanan rumahan Bali, dari keluarga Dr. Baidowi. Namun saya lebih banyak menahan diri.
Akhirnya draft buku yang semula berjumlah hampir 2.000 halaman, berhasil di kompres menjadi lebih kurang 300 halaman.
Saya tidak tahu lagi bagaimana bang Qis dan Tim pak Baidowi menyelesaikannya, sehingga menjadi buku yang padat dan enak dibaca. Hampir setahun yang lalu buku itu telah dicetak, dan mudah dibeli di Toko buku Gramedia, dań sejumlah toko online.
Kini, “errant boy” USK itu telah pergi untuk selamanya. Seorang pembelajar dan pengabdi yang tak mengenal pamrih itu segera akan hilang dari memori publik, tetapi belum tentu hilang dari keping sejarah nantinya. Ia telah memberikan apapun yang dia punya untuk modal awal damai, membantu gubernur Irwandi mengirim putera-puteri terbaik ke berbagai kampus mancanegara.
Suatu hal yang unik, walaupun ia bukan sejarawan secara sekolah dan latihan, Qismullah mempunyai lemari ingatan yang luar biasa besarnya . Itu adalah tentang keping-keping sejarah klasik yang bahkan belum pernah disentuh oleh peminat, pemerhati, dań penulis sejarah Aceh mancanegara.
Ia menulis tentang Panglima Itam, satu dari mungkin ribuan syuhada Aceh yang berperang melawan Belanda sampai ia ditawan dan menjadi pengawal Sultan Muhammad Daudsyah kemanapun ia dibuang.
Lebih dari itu, ia adalah “penulis pribumi” yang berani mengulangi tradisi Lombard, Husein Jayadiningrat, dan Takeshi Ito yang sebagiannya menggunakan hikayat sebagai sumber kajian.
Beda Qismullah dengan mereka sangat jelas. Mereka mengambil hikayat yang oleh pengarangnya diambil dari tradisi tutur “oral history”.
Sebaliknya Qismullah mendapat bahan segar dari penuturan nara sumbernya yang menyaksikan, dan mungkin mengalami, ataupun mendengar dari cerita orang lain secara turun temurun. Ia menulis dari riwayat menjadi hikayat versi modern abad ke 21.
Hari ini, kita para sahabatnya bersedih dań berdoa kepada bang Qis yang sedang menempuh perjalanan akhir menemui Penciptanya. Pada saat yang sama kita merayakan hidupnya, karena ada sentuhannya yang memberi nilai dan makna untuk orang banyak.
Bagi saya, adalah sebuah keistimewaan mengenal dan bersahabat dengan bang Qis. Saya dan bang Qis bukan teman, tetapi kami adalah “keluarga dalam jiwa.” Sebagian kita yang mengenalnya akan membawa bang Qis dalam jiwa kita. Sampai kita beretemu lagi dihadapan sang Khalik.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar USK
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI