Nab Bahany As, Budayawan, tinggal di Banda Aceh
SEMANGAT Merdeka, adalah nama sebuah surat kabar harian yang pernah terbit di Aceh dari tahun 1945 hingga tahun 1950. Surat kabar ini merupakan surat kabar nasional pertama yang terbit di Aceh, hanya setelah dua bulan diproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Aceh saat itu sudah memiliki sebuah surat kabar yang dalam sejarahnya sangat berperan dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia di Aceh.
Karenanya, surat kabar Semangat Merdeka yang diterbitkan pertama kali di Aceh (Kutaraja) tanggal 18 Oktober 1945, adalah sebuah surat kabar yang tak boleh dinafikan--apalagi dihilangkan--perannya dalam sejarah nasional perjuangan Pers di Aceh, demi menyelamatkan jiwa Republik Indonesia yang baru diproklamasikan kemerdekaannya.
Dengan terbitnya surat kabar Semangat Merdeka kala itu, sekaligus membatalkan asumsi-asumsi sejarah yang mengatakan bahwa dari dulu orang Aceh tidak nasionalis. Ini asumsi yang menyesatkan sejarah nasional bagi tak hanya bagi orang Aceh, tapi juga bangsa Indonesia. Sebab, dari motto surat kabar Semangat Merdeka saja, yang diterbitkan di Aceh waktu itu telah mengusung mottonya: Semangat Merdeka “Pembimbing Semangat dan Penjunjung Republik Indonesia”. Dari motto surat kabar ini, siapa bilang orang Aceh tidak nasionalis terhadap Republik Indonesia.
Bahkan mungkin, bagi orang Aceh, dua pesawat terbang Seulawah 001 dan Seulawah 002 yang disumbangkan sebagai modal awal bagi Republik Indonesia 1948, belumlah apa-apa, dibandingkan dengan rasa nasionalisme orang yang diberikan kepada Republik ini saat Indonesia sedang menghadapi “sakratul maut” pada agresi Belanda pertama 1947 dan agresi Belanda kedua 1948. Di nama nyawa Indonesia saat itu benar-benar dalam taruhan, antara hidup dan mati.
Kalaulah rakyat Aceh dibilang tidak nasionalis, tidak loyal pada Republik. Surat kabar harian Semangat Merdeka yang terbit di Aceh sejak 18 Oktober 1945 hingga 14 September 1950, sudah tentu tak akan mengusung mottonya “Pembimbing Semangat dan Penjunjung Republik Indonesia”.
Demikian halnya bila rakyat Aceh dituduh tidak loyal dan setia pada Republik ini, sudah tentu Radio Rimba Raya yang bergerilya di tengah hutan rimba Aceh Tengah, tak akan menyiarkan pada dunia, bahwa Indonesia masih ada wilayahnya di Aceh, di saat-saat Indonesia sedang terancam nyawanya oleh agresi Belanda I dan agresi II untuk menguasai kembali Republik Indonesia yang baru merdeka. Dan bila rakyat Aceh dikatakan tidak mencintai Republik ini, sudah tentu rakyat Aceh tak akan datang berbondong-bondong untuk berperang menghadang Belanda ke Medan Area (Sumatera Utara) untuk mempertahan wilayah Indonesia yang masih tersisa di Aceh.
Sekiranya, Aceh kala itu mengambil sikap tak akan menyelamatkan Republik Indonesia, dengan tidak menyiarkan “Indonesia masih ada wilayahnya di Aceh”, kita tidak tahu bagaimana nasib Republik Indonesia saat itu, apakah Indonesia akan tamat ceritanya, atau akan melahirkan sebuah sejarah lain bagi Indonesia.
Apalagi, di tahun-tahun revolusi agresi Belanda I dan II, boleh dibilang nasib Indonesia ibarat sebuah kapal yang sedang terombang-ambing dalam gelombang badai yang sangat dahsyat. Ibu kota negara Republik Indonesia saat itu tinggal darurat di Bukittinggi Sumatera Barat.
Air mata Soekarno
Pada Juni 1948 Presiden Soekarno datang ke Aceh. Kedatangan Presiden pertama Republik Indonesia ke Aceh kala itu disambut oleh tokoh-tokoh Aceh, termasuk oleh beberapa tokoh wartawan Harian Semangat Merdeka seperti A Gani Mutyara dan Teuku Alibasyah di lapangan terbang Lhoknga Aceh Besar. Kedatangan Presiden Soekarno dan rombongannya ke Aceh waktu itu, seakan mereka membawa harapan terakhir pada rakyat Aceh untuk menyelamatkan Republik Indonesia yang baru seumur jagung.
Dalam pidato pertemuannya dengan tokoh Aceh di Hotel Aceh, Presiden Soekarno sambil sedikit meneteskan air matanya mengatakan: “Saya belum mau makan malam ini, bila tidak ada jawaban pasti dari rakyat Aceh, apakah rakyat Aceh mau menyumbang sebuah pesawat terbang untuk pemerintah Republik Indonesia, sebagai modal awal bagi negara kita yang baru merdeka?”, kata Presiden Soekarno seperti mengiba pada rakyat Aceh.
Spontan saja Teuku Muhammad Ali Panglima Polem mewakili rakyat Aceh dan pengusaha Aceh, yang tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) menyatakan kesanggupan rakyat Aceh untuk menyumbangkan pesawat terbang untuk pemerintah Republik Indonesia yang masih miskin, belum punya modal apa-apa. Presiden Soekarno pun lega setelah memperoleh jawaban dari rakyat Aceh saat itu.
Tapi yang anehnya, walaupun Presiden Soekarno hanya meminta kesediaan rakyat Aceh untuk menyumbangkan satu pesawat terbang, justru rakyat Aceh malah menyumbangkan dua unit pesawat terbang sekaligus untuk modal awal Republik ini. Saat itu satu unit pesawat terbang jenis Dakota seharga 25 kilogram emas murni, itu disumbangkan oleh pengusaha Aceh yang tergabung dalam GASIDA. Dan satu unit pesawat lagi dengan jenis yang sama dan harga yang sama, disumbangkan oleh masyarakat Aceh secara umum.
Kedua unit pesawat terbang sumbangan rakyat Aceh kepada pemerintah Republik Indonesia yang saat itu baru merdeka, kemudian dua pesawat terbang itu dinomorregistrasikan menjadi Seulawah 001 dan Seulawah 002. Tapi perlu diketahui, sebelumnya tahun 1957, Aceh juga telah menyumbangkan satu pesawat terbang untuk TNI Angkatan Udara Republik Indonesia.
Pesawat terbang itu dibeli secara pribadi oleh dua orang putra Aceh asal Samalanga, yaitu Teuku Hamid Azwar dan Teuku Muhammad Daud, yang keduanya putra Aceh asal Samalanga ini saat itu bertugas sebagai Perwira TNI Komando Sumatera yang bermarkas di ibukota darurat RI di Bukittinggi Sumatera Barat.