Opini

Semangat Merdeka dari Aceh untuk Indonesia

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Nab Bahany As, budayawan tinggal di Banda Aceh.

Pesawat terbang yang disumbangkan secara pribadi oleh Teuku Hamid Azwar dan Teuku Muhammad Daud untuk TNI Angkatan Udara ini, adalah pesawat terbang jenis AVRO ANSON yang dibeli di Thailand. Dan ini adalah pesawat terbang pertama yang dimiliki TNI Republik Indonesia, sehingga dengan adanya sumbangan pesawat terbang dari dua putra Aceh ini, TNI Angkatan Udara dapat menembus blokade agresi Belanda untuk menguasai kembali Indonesia.

Tapi kemudian masyarakat Minang mengklaim bahwa sebelum Aceh menyumbangkan dua pesawat terbang untuk Republik ini, mereka telah lebih dulu menyumbangkan satu pesawat terbang untuk pemerintah Republik Indonesia. Benar, pesawat terbang jenis AVRO ANSON yang disumbangkan oleh dua putra Aceh secara pribadi untuk operasional TNI-AU, guna menembus blokade agresi Belanda pertama 1947, saat kedua putra Aceh (Teuku Hamid Azwar—kakek dari Teuku Riefky Harsya Sekjen Partai Demokrat sekarang—dan Teuku Muhammad Daud) sedang bertugas di Bukit Tinggi sebagai Perwira TIN Komando Sumatera. Bukan berarti pesawat terbang jenis AVRO ANSON itu sumbangan masyarakat Minang untuk pemerintah Republik Indonesia.

Walaupun kemudian, pesawat AVRO ANSON sumbangan dua putra Aceh untuk TNI-AU yang operasionalnya dipiloti oleh Halim Perdana Kusuma naas dalam penerbangan pulang dari Thailand ke Indonesia. AVRO ANSON ini jatuh di Pulau Hantu Malaysia 14 Desember 1947. Dalam kecelakaan pesawat itu, pilot Halim Perdana Kusuma dan co pilotnya Iswahyudi keduanya gugur dalam kecelakaan pesawat ini.

Sumbang dana segar

Memang kontribusi Aceh untuk pemerintah Republik Indonesia di awal-awal kemerdekaan tidak tanggung-tanggung. Dalam sejarahnya, kesetiaan Aceh untuk Republik ini memang harus dibayar mahal oleh pemerintah Republik Indonesia untuk Aceh hari ini.

Bayangkan, setelah rakyat Aceh menyumbangkan tiga pesawat terbang yang telah kita sebut di atas, tahun 1949 rakyat Aceh juga menyumbangkan dana segar untuk Pemerintah Pusat sebesar S$. 500.000,- (lima ratus straits Dolar) untuk modal operasional Pemerintah Pusat di Yogyakarta.

Rincian dana segar S$. 500.000 (lima ratus ribu Dolar) yang disumbangkan rakyat Aceh untuk Pemerintah Republik Indonesia kala itu digunakan untuk membiayai perwakilan Indonesia di luar negeri (Mr. Maramis) sebanyak S$. 100.000,- untuk Indonesia Office Singapore S$. 50.000,- untuk biaya penguatan angkatan perang TNI S$. 250.000,- dan untuk biaya pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta sebanyak S$. 100.000,- (seratus ribu straits Dolar).

Dengan bukti sejarah itu, tak ada alasan bagi pemerintah Republik Indonesia hari ini memandang orang Aceh sebagai rakyat yang tidak nasionalis terhadap Republik ini. Dan tidak ada alasan bagi pemerintah Republik Indonesia sekarang untuk menutup-nutupi sejarah jasa rakyat Aceh terhadap Republik ini. Kesetiaan Aceh terhadap Republik Indonesia harus ditulis ulang dalam buku-buku sejarah nasional Indonesia, untuk diajarkan pada anak didik sekarang ini, agar mereka tahu bagaimana kesetiaan rakyat Aceh terhadap Republik ini.

Persoalan kemudian mengapa Aceh bergolak terhadap Republik, seperti tahun 1953-1957 (DI/TII) dan 1976-2005 (GAM), tentu saja ini ada kebijakan yang salah dari Republik terhadap Aceh.

Kesalahan kebijakan inilah yang mesti harus diperbaiki oleh pemerintah pusat terhadap Aceh, agar ke depan Aceh tak lagi bergolak untuk terus setia pada Republik Indonesia. Sebagaimana telah dibuktikan rakyat Aceh dalam sejarah berdirinya Republik ini.  

Berita Terkini