Oleh Dr Wiratmadinata SH MH*)
SEJAK awal, orang sudah tahu; bahwa, upaya DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) dan KIP (Komisi Independen Pemilihan) Aceh menghempang jalan Bustami Hamzah melaju ke Pilkada 2024, melalui prosedur penandatanganan surat pernyataan “kesediaan menjalankan butir-butir MoU Helsinki”, adalah bertentangan dengan hukum.
Bagaimana tidak? KIP Aceh menggunakan alasan bahwa Calon Gubernur Aceh Bustami Hamzah, yang akrab disapa “Om Bus”, meskipun sudah melengkapi semua dokumen online maupun persyaratan tertulis, tetap dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS), dengan alasan: belum melakukan “penandatanganan surat MoU Helsinki di depan lembaga DPR Aceh”.
Celakanya, aturan yang ditetapkan KIP Aceh tersebut diambil berdasarkan Qanun No. 12 Tahun 2016, pasal 24 poin (e) yang sudah tidak berlaku lagi, karena sudah diubah dengan Qanun No.7 tahun 2024 (diundangkan pada 5 Juli 2024) pada poin yang sama.
Adapun bunyi klausul terbaru tersebut adalah: “bersedia menjalankan seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku nasional dan peraturan perundang-undangan yang bersifat istimewa dan khusus yang berlaku untuk Aceh, yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang telah ditantangani bermaterai cukup”.
Dalam bunyi aturan terbaru tersebut, sudah tidak ada lagi kalimat “kesediaan melaksanakan butir-butir MoU Helsinki”.
Secara hukum hal ini dapat dipahami, karena substansi hukum yang terdapat dalam MoU Helsinki sudah diterjemahkan kedalam UU. No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA).
Dengan adanya UUPA ini, maka substansi MoU Helsinki, yang secara hukum tidak “legally binding” dalam sistem Hukum Indonesia, dapat menjadi “legal dan mengikat”, karena sudah dalam bentuk UU yang sah dalam sistem Hukum Indonesia, sesuai dengan UU No.12 tahun 2011 tentang; Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dengan bunyi sebagaiman tersebut di atas dalam Qanun No. 7 tahun 2024, maka sudah jelas aturan yang dibuat oleh KIP Aceh, soal penandatanganan surat “kesediaan melaksanakan butir-butir MoU Helsinki” dapat disebut mengada-ada, atau setidaknya bertentangan dengan prinsip penerapan hukum yang berlaku, yaitu; aturan lama sudah tidak berlaku lagi, karena sudah diubah dengan aturan baru. Sederhana saja sebenarnya.
Baca juga: Bustami Hamzah: “Ini Penzaliman, Saya Akan Lawan!”
Lalu, mengapa KIP Aceh tidak mau menggunakan qanun terbaru, yaitu Qanun No.7 sebagai landasan hukum penetapan syarat sahnya pencalonan Bustami Hamzah, dan malah menggunakan landasan hukum Qanun yang sudah dibatalkan? Jawabannya, hanya Tuhan, KIP Aceh dan DPRA yang tahu.
Sudah jelas DPRA juga seiring jalan dengan KIP Aceh. Faktanya; DPRA sendiri dengan jelas dan tegas telah menerapkannya dalam Sidang Paripurna, pada 12 September saat agenda awal penandatanganan dokumen pengesahan syarat Cagub dan Cawagub.
Dalam rapat itu, DPRA dengan tegas melarang Bustami Hamzah yang akrab disapa Om Bus menandatangani dokumen kesediaan melaksanakan butir-butir MoU Helsinki, karena alasan; wakilnya tidak ada.
Padahal semua tahu, saat itu Calon Wagub yang sudah resmi didaftarkan sudah meninggal dunia. Inilah yang saya sebut drama.
Mengapa saya sebut drama?
Pertama; karena pada peristiwa 12 September, di mana DPRA melarang Om Bus menandatangani dokumen sebagai kelengkapan syarat sah Calon Gubernur Aceh memang lumayan mengejutkan.
Sebab sebelumnya tidak ada secara eksplisit terdapat aturan tertulis, bahwa misalnya; jika Calon Wakil Gubernur tidak hadir, maka Cagubnya tetap tidak boleh menandatangani dokumen pengesahan.
Tapi, karena mungkin itu merupakan pendapat DPRA, Om Bus, maklum dan bisa menerima. Oleh karena itu Om Bus kemudian berusaha melengkapi syarat itu dengan segera mencari wakil dan setelah menetapkan pilihan pada mantan Senator Aceh Fadhil Rahmi sebagai Cawagub, akhirnya ia pun didaftarkan.
Tapi rupanya, hal itu juga tidak lancar. Karena ketika hendak dilaksanakan Rapat Paripurna pada 18 September, ternyata gagal dilaksanakan karena tidak quorum.
jadi ada tiga momentum, yang berujung pada tertundanya proses pengesahan Om Bus sebagai Cagub Aceh; Pertama pada 12 September dalam sidang peripurna dengan alasan; wakilnya tidak ada, dan kedua; pada 18 September 2024, dengan alasan; Banmus DPRA tidak quorum dan yang ketiga adalah; terbitnya Berita Acara; Penelitian Persyaratan Adminsitrasi yang menyatakan Om Bus dan Syeh Fadhil (panggilan Fadhil Rahmi) TMS pada Sabtu 21 September 2024. Notabene, hari itu adalah hari terakhir agenda pengesahan oleh Banmus, dimana seharusnya pada hari Sabtu dilakukan Sidang Paripurna.
Tentu saja, situasi tersebut menegangkan bagi kubu Om Bus. Saat itu, seakan akan-pintu sudah tertutup, harapan sudah sirna, dan Pilkada dengan Kotak Kosong sebagaimana yang didengungkan beberapa pihak, sudah didepan mata. Dan jika ini benar terjadi, demokrasi Aceh benar-benar berada di titik nadir. Makanya saya menyebut peristiwa-peristiwa di atas sebagai drama. Suatu tragedi demokrasi.
Kedua; layaknya sebuah drama, pada detik-detik yang mendebarkan di hari Sabtu, 21 September 2024, mendadak melayang sebuah surat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat di Jakarta, sebagai induk KIP Aceh, yang seperti membalikkan lagi alur cerita menuju skenario yang seharusnya; orang film, teater dan praktisi drama menyebutnya “Plot Twist” (pembalikan alur yang memberi efek kejut).
Surat bernomor: 2148 itu intinya menyebutkan bahwa: “tidak berlaku lagi ketentuan penandatanganan Surat Pernyataan di depan Lembaga DPRA/DPRKA”. Dari lima (5) poin isi surat tersebut intinya sama seperti apa yang saya tulis di bagian awal, bahwa seharusnya yang berlaku adalah aturan terbaru berdasarkan Qanun No. 7 tahun 2024, sebagai Qanun perubahan atas Qanun No. 12 tahun 2016 (dijelaskan pada poin 1 dan 2 surat KPU).
Baca juga: Beredar Berita Acara KIP Aceh Nyatakan Bustami-Syech Fadhil Tak Penuhi Syarat Maju Pilkada 2024
Selain itu, KPU memerintahkan KIP Aceh mengubah Surat Keputusan KIP No. 17 tahun 2024 tentang Pedoman Teknis qanun tersebut, memerintahkan KIP segera berkoordinasi dengan Panwaslih.
Kesimpulannya; Om Bus dan Fadhil Rahmi; sah sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Aceh untuk bertarung di Pilkada 27 November 2024 mendatang.
Dengan surat ini, maka drama pendek “pembegalan” hukum ini pun berakhir seketika. Singkat cerita; ini pun berakhir. Yang pasti kisah melawan “kotak kosong” yang terus menerus berkembang menjadi spekulasi di berbagai forum-forum politik di Aceh kembali kembali buyar.
Semoga saja kontestasi ini tetap dalam jalur demokrasi yang elegan, berakhlak dan beradab. Bukankah, seperti bunyi UU. No 7 tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan: Pemilu adalah; “Sarana kedaulatan rakyat” yang harus dilakukan secara LUBER (langsung, umum, bebas, rahasia) dengan asas-asas; Jujur dan Adil. Marilah kita adil sejak dalam pikiran, kata Pramoedya Ananta Toer.
*) PENULIS adalah akademis
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI