Maka dapat dipastikan KIP Aceh telah melanggar prinsip asas kesetaraan dan keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam setiap proses pemilihan.
Penggunaan dalih administratif tanpa mempertimbangkan kondisi yang dihadapi oleh calon, apalagi jika calon sudah memenuhi seluruh persyaratan, merupakan bentuk diskriminasi yang tidak dapat diterima dalam konteks hukum yang adil dan obyektif.
Ketiga, Pelanggaran Asas Legalitas. Dalam hukum administrasi negara, asas legalitas menyatakan bahwa setiap tindakan badan atau pejabat pemerintahan harus berdasarkan hukum yang sah.
Keputusan KIP Aceh untuk menyatakan Bustami-Fadhil "Tidak Memenuhi Syarat" tampaknya tidak memperhatikan hal ini.
Pasal 24 huruf e mengatur tentang penandatanganan MoU di depan DPR Aceh, tetapi tidak mengatur secara tegas mengenai konsekuensi dari penundaan yang disebabkan oleh pihak penyelenggara.
Oleh karena itu, KIP Aceh tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menjatuhkan keputusan TMS kepada pasangan calon ini.
Jika KIP Aceh berkeras pada keputusan ini, maka mereka dapat dianggap melakukan "ultra vires" bertindak di luar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
Hal ini juga bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), seperti asas kepastian hukum dan asas tidak menyalahgunakan kewenangan.
Keempat, Kesalahan dalam Penafsiran Prosedur. Perlu dicatat bahwa Bustami Hamzah dan tim pemenangannya telah menyatakan bahwa seluruh dokumen yang diperlukan telah diserahkan, meskipun penandatanganan formal di depan DPR Aceh belum terlaksana.
Jika demikian, tidak ada dasar kuat bagi KIP Aceh untuk menyatakan bahwa pasangan ini tidak memenuhi syarat (TMS).
Selain itu, penundaan proses penandatanganan adalah bagian dari tanggung jawab KIP Aceh sebagai penyelenggara pemilu, bukan beban yang harus ditanggung oleh pasangan calon.
Oleh demikian, dapat dipastikan bahwa keputusan KIP Aceh untuk menyatakan pasangan Bustami Hamzah dan Fadhil Rahmi "Tidak Memenuhi Syarat" (TMS) adalah melanggar asas legalitas dan keadilan dalam pemilihan umum.
Kesalahan administratif yang terjadi dalam penjadwalan ulang proses penandatanganan pernyataan MoU Helsinki tidak dapat dibebankan kepada calon.
Oleh karena itu, keputusan KIP Aceh ini harus segera diproses secara hukum demi menyelamatkan hak konstitusional pasangan calon serta menjaga integritas dan kredibilitas proses pemilu di Aceh.
Pihak terkait, termasuk tim pemenangan Bustami-Fadhil, secara hukum berhak untuk mengajukan keberatan dan menuntut agar KIP Aceh dikenakan sanksi hukum karena KIP Aceh telah melanggar prinsip-prinsip hukum dan keadilan dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu. (*)
*) Penulis adalah Pengamat Politik Aceh dan Mahasiswa Program Doktor Filsafat Hukum Universitas Islam Sultan Syarif Ali (UNISSA) Brunei Darussalam.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI