Di samping mudah bergaul, lahir dari keluarga terpandang juga membuat DN Aidit dan saudara-saudaranya memiliki akses untuk bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar pemerintah Belanda saat itu.
Kini bangunan HIS masih berdiri dan berganti wujud menjadi Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tanjung Pandan.
Meski dididik di sekolah Belanda, DN Aidit dan saudara-saudaranya tumbuh dalam keluarga yang rajin beribadah.
Abudllah Aidit sendiri merupakan seorang tokoh pendidikan Islam di Belitung.
Tidak hanya itu, dia juga seorang pendiri Nurul Islam, organisasi Islam dekat kawasan pecinan di kota itu yang masih masih tegak berdiri.
Sepulang sekolah, DN Aidit dan adik-adiknya kemudian belajar mengaji kepada Abdurrachman, adik ipar Abdullah Aidit.
Selesai mengaji, anak-anak Abdullah kemudian pergi ke sungai untuk mengambil air, sebagai kakak tertua, DN Aidit biasanya membawa jerikan paling besar.
Orang-orang di Jalan Belantu juga menganal DN Aidit sebagai muazin atau tukang azan karena suaranyalah yang paling keras.
Awal 1936, ketika usianya baru menginjak 13 tahun, DN Aidit merantau ke Batavia (sekarang Jakarta) untuk melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah setingkat SMP.
Di kampung halaman DN Aidit, sekolah tertinggi hanya sampai HIS, jika ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi mereka harus pergi ke Medan atau Batavia.
Saat itu, meninggalkan Belitung bukanlah hal lazim, pemuda yang merantau sampai ke Jawa dapat dihitung jari.
Namun DN Aidit akhirnya berhasil meyakinkan sang ayah.
“Abang saya paling jarang meminta sesuatu kepada Bapak,” kata Murad Aidit, adik kandung Achmad.
Kalau sudah sampai meminta sesuatu, kata Murad, itu artinya tekad DN Aidit sudah benar-benar bulat.
Ada empat syarat yang harus dipenuhi seorang pemuda supaya diizinkan merantau, di antaranya bisa memasak sendiri, bisa mencuci pakaian sendiri, sudah disunat, serta sudah khatam mengaji.