Keempat syarat itu sudah dipenuhi oleh DN Aidit.
Sampai di Jakarta, DN Aidit tinggal di rumah teman ayahnya, Marto, seorang mantra polisi di kawasan Cempaka Putih.
Sayangnya ketika sampai di Jakarta, pendaftaran MULO sudah ditutup.
DN Aidit akhirnya harus puas bersekolah di Middestand Handel School (MHS), sebuah sekolah dagang di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Bakat kepemimpinan DN Aidit dan idealismenya yang berkobar-kobar langsung menonjol di antara kawan sebayanya.
Di sekolahnya yang baru, DN Aidit mengorganisasi kawannya melakukan bolos massal untuk mengantar jenazah seorang pejuang kemerdekaan, Muhammad Husni Thamrin untuk dimakamkan.
Karena terlalu aktif di luar sekolah membuat DN Aidit tidak pernah menyelesaikan sekolahnya di MHS.
Tiga tahun di Cempaka Putih, Aidit pindah ke sebuah rumah di Tanah Tinggi 48, kawasan Senen, Jakarta Pusat.
Ketika indekos di sini, Murad datang menyusul dari Belitung, juga untuk bersekolah di Jakarta.
Menyekolahkan dua anak jauh dari rumah tentu tak mudah untuk keuangan Abdullah Aidit.
Gajinya sebagai mantri kehutanan hanya sekitar 60 gulden sebulan.
Dari jumlah itu, 15 sampai 25 gulden dikirimnya ke Batavia yang juga pas-pasan untuk dua bersaudara Aidit.
Ketika masa pendudukan Jepang, komunikasi antara Jakarta dan kota di sekitarnya terputus.
Kiriman uang dari Belitung macet, sehigga DN Aidit dan adiknya harus mulai bekerja untuk bisa bertahan hidup.
Sepak Terjang DN Aidit
Untuk dapat bertahan hidup, DN Aidit lalu membuat biro pemasaran iklan dan langganan surat kabar bernama Antara.
Lamakelamaan, selain biro iklan, Antara juga berjualan buku dan majalah.
Saat abangnya sibuk melayani pelanggan, Murad biasanya berjualan pin dan lencana bergambar wajah pahlawan seperti Kartini, Dr Soetomo, dan Diponegoro, di dekatnya.
Berdagang memang bukan pekerjaan baru untuk Aidit, sebab ketika masih tinggal di Belitung, setiap kali ada pertandingan sepak bola di Kampung Parit, Aidit selalu berjualan kerupuk dan nanas.
Namun karena situasi ekonomi yang terus memburuk akhirnya membuat DN Aidit angkat tangan, Murad diminta tinggal di sebuah asrama korban perang sebelum dikirim pulang ke Belitung.
Situasi politik di ibu kota sebenarnya sudah menarik minat DN Aidit sejak awal.
Pertama, DN Aidit bergabung dengan Persatua Timur Muda atau Pertimu hingga ia menjadi Ketua Dewan Komisaris pada 1939.
Pekumpulan ini dimotori Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan Amir Syariffudin dan Dr Ahmad Kapau Gani.
Dalam organisasi inilah persinggungan Aidit dengan politik makin menjadi-jadi.
Di tengah karier politiknya yang mulai menjulang, DN Aidit seperti berusaha membuang baying-bayang keluarga dan masa lalunya di Belitung.
Dia menolak memberikan bantuan finansial ketika Murad meminta bantuan kepadanya.
Sekitar masa-masa itu, Aidit mengubah namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit, tidak lagi memakai nama Achmad.
Menurut adik-adiknya, penggantian nama itu dikarenakan perhitungan politik supaya tidak mudah dilacak asal-usulnya.
DN Aidit juga sering disebut-sebut berdarah Minangkabau, dan DN di depan namanya adalah singkatan Djafar Nawawi.
Namun proses penggantian nama itu tidak berjalan mudah, Abdullah Aidit menolak perubahan nama tersebut karena DN Aidit sudah tercatat pada slip gajinya sebagai putra sulung.
Namun karena terus memaksa, Abdullah akhirnya terpaksa menyetujui perubahan nama itu.
DN Aidt dan PKI
Kedatangan Muso dari Rusia begitu membuat DN Aidit terkesan, terutama dengan gagasan Muso: Jalan Baru bagi Republik.
Menurut Muso, seluruh kekuatan sosialis komunis harus disatukan, untuk merebut kekuasaan PKI tidak bisa bergerak sendiri.
Medio 1948, ketika usianya baru 25 tahun, Aidit ditugasi mengoordinasi seksi perburuhan partai yang cukup strategis.
Muso juga mencela Proklamasi Kemerdekaan 17 AGustus 1945, sebab menurutnya revolusi itu justru merupakan kegagalan besar kaum revolusioner.
Kepemimpinan nasional jatuh ke tangan individu yang ditudingnya borjuis, yaitu Soekarno – Hatta.
Sebulan pascamenjabat koordinator seksi perburuhan partai, pada 18 September 1948, pemberontakan terjadi di Madiun, Jawa Timur.
Puluhan ribu buruh dan tani merangsek mengambil alih kekuasaan pemerintah di daerah-daerah.
Muso mencoba mendirikan apa yang disebutnya "Soviet Republik Indonesia".
Madiun, Magetan, Cepu, Blora, dan sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikuasai massa PKI.
Bendera merah bergambar palu arit ditancapkan di banyak tempat.
Soekarno kemudian meminta rakyat memilih dirinya atau Muso, yang dicapnya sebagai pengkhianat Republik.
Namun Muso balik menuduh Soekarno-Hatta sebagai kolaborator imperialis.
Mayoritas pemimpin PKI ditangkap dan fihukum tembak.
Kegagalan gerakan tersebut disebut-sebut karena sepi dukungan rakyat.
Pengalaman tersebut terasa getir bagi DN Aidit, terlebih mentornya, Muso ikut tewas terkena peluru tentara.
Aidit sebenarnya juga sempat tertangkap di Yogyakarta, namun akhirnya dia dilepaskan karena tidak dikenal.
Belakangan, setelah jadi Ketua Comite Central PKI, DN Aidit menyebut peristiwa itu sekadar "permainan anak-anak" (kinderspel).
DN Aidit menuduh Mohammad Hatta, perdana menteri saat itu, sebagai pihak yang memprovokasi.
Amerika Serikat juga dicurigai ada di belakang pemerintah untuk melawan "bahaya merah".
Dari Yogyakarta, Aidit kemudian pindah ke Jakarta dan dikabarkan kabur ke Beijing, China.
Namun berdasarkan buku Murad Aidit, DN Aidit sembunyi di daerah pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara dengan nama samaran Ganda.
Bergerak dalam senyap, bersama beberapa yang tersisa, DN Aidit mencoba membangun kembali partai yang terserak.
DN Aidit masih setia pada ide Muso, lewat penerbitan Bintang Merah, ia menyebarkan lagi paham revolusioner dan anti-imperialis.
Ia kerap mencantumkan nama "Alamputra" di bawah tulisannya.
Tiga tahun berlalu, karier politik Aidit makin moncer.
Aidit berhasil merebut kekuasaan dari kelompok PKI tua, Alimin dkk, yang dinilai melakukan banyak kesalahan.
Tan Ling Djie, anggota senior politibiro, didepak karena perbedaan pandangan politik.
Didukung sejumlah aktivis muda dalam Kongres V PKI, 1951, DN Aidit berhasil mencapai posisi Ketua Comite Central PKI.
Pascaperistiwa Madiun, PKI benar-benar limbung, 11 pimpinan terasnya tewas, termasuk Muso, Amir Syarifuddin, dan Maruto Darusman yang ditembak mati di Ngalihan, Solo.
Bersama Njoto dan Mohamad Hakim Lukman, DN Aidit kemudian muncul menjadi tulang punggung partai.
Tiga orang itu kemudian dikenal sebagai trisula PKI yang menempati Sekretaris Jenderal, Wakil Sekjen I, dan Wakil Sekjen II.
Sebagai ketua, DN Aidit memelototi politik secara umum.
Lukman, yang jago bermain sepak bola, memimpin Front Persatuan, sedangkan urusan agitasi dan propaganda diemban Njoto.
Tak cuma berorganisasi, untuk meluaskan jaringan, mereka mendirikan sekolah, dari tingkat dasar sampai universitas.
Usaha itu akhirnya berbuah.
Pada Pemilihan Umum 1955, PKI berhasil menempati urutan keempat setelah PNI, Masyumi, dan NU.
Hasil itu membuat DN Aidit optimistis partainya bisa meraih posisi nomor satu sebelum 1975, selama semua berjalan normal.
Namun nyatanya cita-cita itu terempas seiring meletusnya tragedi 30 September 1965.
Gerakan 30 September 1965
PKI terus merangkak, pada tahun itu juga partai ini menerbitkan dokumen perjuangan "Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan".
Bentuk pertama, perjuangan gerilya di desa-desa oleh kaum buruh dan petani.
Kedua, perjuangan revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota, terutama kaum buruh di bidang transportasi.
Sedangkan yang ketiga, pembinaan intensif di kalangan kekuatan bersenjata, yakni TNI.
Pada 1964, PKI membentuk Biro Khusus yang langsung dibawahi DN Aidit sebagai Ketua Committee Central PKI.
Tugas biro itu untuk mematangkan situasi guna merebut kekuasaan dan infiltrasi ke tubuh TNI.
Biro yang bernama Biro Chusus Central tersebut dipimpin Sjam Kamaruzzaman, tidak sampai setahun mereka berhasil merangsek ke dalam TNI, khususnya Angkatan Darat.
Juli 1965, seiring merebaknya kabar kesehatan Bung Karno yang memburuk, suhu politik Tanah Air makin panas.
Sebuah berita dari dokter RRC yang merawat Presiden datang menyebutkan Bung Karno akan lumpuh atau meninggal dunia.
Di Jakarta bertiup rumor menyengat, muncul Dewan Jenderal yang hendak menggulingkan Bung Karno.
Dalam Buku Putih G-30-S/PKI yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, disebutkan bahwa DN Aidit kemudian menyatakan, gerakan merebut kekuasaan harus dimulai jika tak ingin didahului Dewan Jenderal.
Gerakan itu dipimpinnya sendiri. Ada pun Sjam ditunjuk sebagai pemimpin pelaksana gerakan.
Saat diadili Mahkamah militer, Sjam mengaku dipanggil DN Aidit pada 12 Agustus 1965.
Dalam pertemuan itu, ia diberi tahu bahwa presiden sakit dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan bila Bung Karno mangkat.
Menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia meninjau "kekuatan kita".
Sejak 6 September 1965, Sjam lantas menggelar rapat-rapat di rumahnya dan di rumah Kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya).
Di rapat ini hadir Letnan Kolonel Untung (Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa) dan Mayor Udara Sudjono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan Halim Perdanakusumah).
Rapat terakhir, 29 September 1965, menyepakati gerakan dimulai 30 September 1965 dengan Untung sebagai pemimpinnya.
A Latief dalam wawancara pada 1999 mengatakan bahwa Gerakan 30 September dirancang utnuk menggagalkan upaya Dewan Jenderal dengan menghadapkan para Dewan Jenderal ke hadapan Soekarno.
Namun menurutnya gerakan itu kemudian diselewengkan oleh Sjam.
Latief pun kaget ketika Sjam mengatakan semua Dewan Jenderal tewas dalam Gerakan 30 September itu.
DN Aidit sendiri belum pernah memberi pernyataan soal Gerakan 30 September.
DN Aidit ditangkap di Desa Sambeng, dekat Solo, Jawa tengah pada 22 November 1965 malam.
Keesokan paginya, DN Aidit kemudian dieksekusi mati.
Sebelum ditangkap, DN Aidit sempat dikabarkan membuat pengakuan sebanyak 50 lembar.
Pengakuan tersebut jatuh ke tangan Risuke Hayashi, koresponden koran berbagasa Inggris yang terbit di Tokyo, Asahi Evening News.
Menurut Asahi, DN Aidit mengaku sebagai penanggung jawab tertinggi peristiwa 30 September.
Rencana pemberontakan itu sudah mendapat sokongan pejabat PKI lainnya serta pengurus organisasi rakyat di bawah PKI.
Alasan pemberontakan, mereka tak puas dengan sistem yang ada.
Rencana semula disepakati 1 Mei 1965, tetapi Lukman, Njoto, Sakirman dan Nyono yang semuanya merupakan anggota Committee Central menentang.
Alasannya, persiapan belum selesai.
Akhirnya, setelah berdiskusi dengan Letkol Untung dan sejumlah pengurus lain pada Juni 1965, disepakati mulai Juli 1965 pasukan Pemuda Rakyat dan Gerwani dikumpulkan di Pangkalan Halim Perdanakusuma.
Pertengahan Agustus, sekembalinya dari perjalanan ke Aljazair dan Peking, DN Aidit kembali melakukan pertemuan rahasia dengan Lukman, Njoto, Brigjen Soepardjo, dan Letkol Untung.
PKI mendapat info bahwa tentara, atas perintah Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Achmad Yani, akan memeriksa PKI karena dicurigai mempunyai senjata secara tidak sah.
"Kami terpaksa mempercepat pelaksanaan coup d'etat," kata Aidit.
Akhirnya, dipilih tanggal 30 September.
Sementara itu, dalam buku Bayang-bayang PKI yang disusun tim Institut Studi Arus Informasi (1999), diduga SN Aidit tahu adanya peristiwa G-30-S karena ia membentuk dua organisasi: PKI legal dan PKI Ilegal.
Biro Chusus adalah badan PKI tidak resmi.
Sjam bertugas mendekati tentara dan melaporkan hasilnya, khusus hanya kepada Aidit. Hanya, ternyata, tak semua "hasil" itu dilaporkan Sjam.
Tentang besarnya peran Aidit dalam peristiwa 30 September ditampik Soebandrio.
Menurut bekas Wakil Perdana Menteri era Soekarno ini, G30-S didalangi tentara dan PKI yang terseret lewat tangan Sjam.
Alasan Soebandrio, sejak isu sakitnya Bung Karno merebak, DN Aidit termasuk yang tahu kabar tentang kesehatan Bung Karno itu bohong.
Waktu itu, kata Soebandrio, DN Aidit membawa seorang dokter Cina yang tinggal di Kebayoran Baru.
Soebandrio dan Leimena, yang juga dokter, ikut memeriksa Soekarno.
Kesimpulan mereka sama: Bung Karno cuma masuk angin.
Soebandrio dalam memoarnya, Kesaksianku Tentang G-30-S, menyesalkan pengadilan yang tidak mengecek ulang kesaksian Sjam.
Menurut Soebandrio, ada lima orang yang bisa ditanya, di antaranya Bung Karno, DN Aidit, dokter Cina yang ia lupa namanya tersebut, Leimena, dan dirinya sendiri.
Menurut Soebandrio, pada Agustus 1965 kelompok "bayangan Soeharto" (Ali Moertopo cs) sudah ingin secepatnya memukul PKI.
Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi untuk mendorong PKI mendahului memukul Angkatan Darat.
Sementara itu, Njoto membantah pernyataan Aidit.
Menurut Njoto, Hubungan PKI dengan Gerakan 30 September dan pembunuhan Jenderal Angkatan Darat tidak ada.
Njoto juga mengaku tidak tahu apa pun, bahkan sampai sesudah meletusnya gerakan itu.
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Kaa)
Artikel ini telah tayang di tribunnewswiki.com