Afridal Darmi SH LLM, Advokat dan pembela HAM berdomisili di Aceh Besar
SETIAP muslim hafal di luar kepala hadis Nabi saw tentang kewajiban melawan perbuatan munkar jika terjadi di hadapannya. Pertama, harus dilawan dengan kekuasaan yang dimiliki. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Dan jika itu pun tidak bisa, maka cukup melawannya dalam hati. Hadis ini ditutup dengan kalimat: pilihan ketiga adalah selemah-lemah iman. Islam sangat menghargai orang-orang yang berusaha melawan kemunkaran dengan segala daya yang dimiliki. Sebaliknya, Islam tidak menghargai mereka yang diam, entah karena takut atau tidak peduli. Hadis ini menempatkan mereka di dasar “klasemen keimanan.” Jika orang yang tidak peduli ditempatkan demikian, lalu di mana posisi pelaku kemunkaran itu sendiri? Bagaimana pula dengan mereka yang ikut menikmati atau mengambil manfaat darinya?Dalam masa-masa menjelang pemilihan kepala daerah pada 27 November nanti, setiap muslim di negeri ini memiliki peluang untuk beribadah dengan menjalankan pesan Nabi tersebut secara literal. Namun, mari pahami dulu ketentuannya: memberi (arrasyi) atau menerima (murtasyi) uang atau keuntungan lain untuk memilih salah satu kandidat adalah perbuatan munkar.
Dengan menolak mengambil uang dari tim sukses dan memilih kandidat lain yang tidak menyuap, seorang Muslim secara nyata melaksanakan hadis Nabi saw ini. Kita tidak memilih dia bukan karena faktor lain, tetapi justru karena dia telah menawarkan uang kepada kita—demi cinta kepada Nabi saw dan demi mengikuti sunnah beliau.
Pengaruh pemilih muslim
Pemilih muslim merupakan kelompok pemilih terbesar di Indonesia. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 mencakup 204.807.222 pemilih, dan 86 persen-nya (176,1 juta) adalah muslim, menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Faktor agama juga diakui berpengaruh signifikan dalam menentukan pilihan pada pemilu, baik untuk gubernur maupun bupati/wali kota. Namun, pertanyaannya adalah sejauh mana nilai-nilai Islam diterapkan dalam menggunakan hak suara ini? Apakah pemilih mempertimbangkan moral agama dalam menyikapi politik uang, yang bahkan dalam pandangan sekuler pun dianggap bertentangan dengan hukum dan etika?
Dalam Islam, politik uang ini adalah dosa besar yang disebut risywah. Politik uang bukan hanya persoalan individu, tetapi juga menciptakan budaya korupsi yang merusak tatanan masyarakat. Menurut Transparency International, Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023. Angka ini menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi persoalan serius yang merusak moralitas dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan.
Hak memilih amanah
Setiap pemilih muslim, yang telah mukallaf (dewasa dan berakal), memikul kewajiban agama sekaligus memiliki hak memilih berdasarkan hukum negara. Sayangnya, banyak yang tidak menyadari bahwa hak pilih ini adalah bentuk kekuasaan sesungguhnya. Kekuasaan itulah yang akan dialihkan kepada siapa pun yang dipilih melalui proses elektoral. Memilih kandidat yang menyuap berarti menggunakan kekuasaan untuk mendukung kemunkaran. Sebaliknya, memilih kandidat yang tidak menyuap adalah bentuk nyata menggunakan kekuasaan individu untuk mencegah kemunkaran. Hak memilih bukan hanya hak asasi, tetapi juga amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Dalam pandangan Islam, amanah adalah salah satu prinsip utama yang menentukan integritas seorang muslim.
Hadis lain dari Rasulullah saw yang relevan dengan konteks ini juga umumnya telah dihafal di luar kepala oleh sebagian besar muslim. “Apabila suatu amanah disia-siakan, tunggulah kehancurannya” kata Nabi saw. Ketika sahabat bertanya, “Bagaimana cara menyia-nyiakan amanah itu?” Rasulullah saw menjawab “Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari).
Logika sederhananya adalah ketika seorang muslim mukallaf memilih seorang kandidat penyuap maka sekaligus ia terlibat dalam menyia-nyiakan amanah itu. Lalu jika sedari awal amanah yang ada di jantung jabatan gubernur atau bupati/wali kota itu sudah hancur karena penyia-nyiaan ini dapatkah kita berharap jabatan itu akan membawa kebaikan bagi umat? Dan lebih buruknya lagi kesalahan ini dapat membawa dampak kepada warga negara yang nonmuslim justru terjadi karena orang Islam gagal menjalankan perintah agamanya sendiri yaitu menjaga amanah kekuasaan.
Dampak politik uang
Politik uang tidak hanya merusak moralitas individu, tetapi juga menghancurkan demokrasi. Pemimpin yang terpilih melalui suap hampir pasti akan mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya dibandingkan kesejahteraan rakyat. Ini adalah langkah pertama menuju pemerintahan yang tirani. Definisi tirani, seperti yang dijelaskan oleh Timothy Snyder dalam On Tyranny (2018), adalah kekuasaan yang dirampas untuk keuntungan pribadi.
Dalam sistem seperti ini, kesejahteraan rakyat tidak ada dalam kamus mereka. Rakyat hanya dilihat sebagai alat untuk mengalihkan kekuasaan individu kepada tiran yang kemudian akan menggunakan kekuasaan itu untuk keuntungan pribadi mereka, bahkan melalui korupsi, pelanggaran hukum, atau penindasan. Buku Il Principe karya Niccolò Machiavelli juga menyoroti bahwa penguasa yang korup akan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam konteks Indonesia, hal ini sangat relevan mengingat banyak kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, sebagaimana tercermin dalam data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Muslim yang cerdas
Namun harapan tetap ada. Pemilih muslim perlu terpanggil untuk menggunakan hak suara mereka demi menyelamatkan negeri ini dari kehancuran nilai-nilai demokrasi dan keadilan. Menolak suap dan tidak memilih penyogok adalah langkah konkret untuk melawan kemungkaran. Selain itu, pendidikan politik juga perlu ditingkatkan di kalangan umat Islam. Pemilih harus memahami bahwa memilih pemimpin bukan sekadar hak, tetapi juga tanggung jawab moral. Ulama dan tokoh masyarakat memiliki peran penting dalam membimbing umat untuk memahami pentingnya memilih berdasarkan nilai-nilai Islam. Melalui khutbah, kajian, dan diskusi, ulama dapat menanamkan kesadaran bahwa politik uang adalah perbuatan haram yang harus ditolak.