Kupi Beungoh

Berharap Wali Nanggroe Sebagai Pemimpin Rasa Sultan Aceh

Editor: Amirullah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ghina Maisarah dan Neva Sempena, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab dan Pendidikan Madrasah Ibtidaiyyah UIN Ar-Raniry

Selain harus mampu mengangkat HDI Aceh, Muzakir Manaf harus memberdayakan sosok Wali Nanggroe Aceh (WNA) sehingga ada nuansa Sultan pada Paduka Yang Mulia Almukarram Almudabbir Wali Nanggroe Aceh.

Dua Alasan WNA "Rasa Sultan" 

1. Warisan Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam

Aceh, sebagai bekas Kesultanan Aceh Darussalam, memiliki sejarah yang sangat berharga. Kesultanan Aceh pada masa kejayaannya (1496–1945) pernah menjadi salah satu kerajaan Islam yang paling berpengaruh di dunia. 

Para pemimpin Aceh pada masa itu dihormati tidak hanya oleh rakyatnya, tetapi juga oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Turki Utsmani, Safawi di Persia, Mughal di India, dan Maroko.

Masyarakat Aceh merindukan sosok pemimpin yang tidak hanya berwibawa dan adil, tetapi juga memiliki pengaruh besar, baik di tingkat nasional maupun internasional, untuk mengembalikan martabat Aceh yang pernah gemilang pada masa lalu.

Kepemimpinan yang berakar pada sejarah ini diharapkan dapat memberikan rasa aman dan harapan baru bagi masyarakat Aceh untuk maju dan berkembang.

2. Keistimewaan yang Belum Terwujud

Aceh memiliki status keistimewaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, yang mengakui posisi Aceh sebagai daerah yang memiliki kekhususan, sama seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). 

Meskipun demikian, hingga kini Aceh belum merasakan manfaat penuh dari keistimewaan tersebut, terutama dalam hal alokasi dana untuk pemeliharaan dan pengembangan keistimewaannya.

DIY, yang dipimpin oleh seorang Sultan yang juga bertanggung jawab atas pengelolaan keistimewaan daerah, mendapatkan dana khusus dari pemerintah pusat. Namun, Aceh, meskipun memiliki status yang sama, belum menerima perhatian yang serupa.

Wali Nanggroe dan Kepemimpinan Kembar

Sebagai sebuah daerah dengan tradisi kepemimpinan yang khas, Aceh memiliki Lembaga Wali Nanggroe (LWN) yang memiliki potensi untuk berperan lebih strategis. 

Dalam tradisi Kesultanan Aceh Darussalam, sistem kepemimpinan bersifat "kembar", yakni antara Sultan dan Qadhi Malikul Adil, yang berfungsi sebagai pengawas dan penjaga nilai-nilai agama dan adat (Baca: Disbudpar Aceh, Ensiklopedia Kebudayaan Aceh, 2018). 

Pemimpin Aceh masa depan diharapkan mampu mengaktifkan peran lembaga Wali Nanggroe secara lebih optimal, serta menyatukan kebijakan antara kepemimpinan politik dan agama. 

Dengan adanya model kepemimpinan ini, Aceh memiliki peluang untuk kembali mengedepankan nilai-nilai keislaman yang moderat, sekaligus mempertahankan kearifan lokal yang sudah ada sejak zaman Kesultanan Aceh.

Harapan pada Gub-Wagub Aceh 2025-2030

Pemimpin yang terpilih dalam pemilu 2024 diharapkan dapat memahami betul makna dari keistimewaan yang dimiliki Aceh. Mereka harus memiliki komitmen untuk menghidupkan kembali potensi keistimewaan Aceh secara nyata, dengan fokus pada penguatan lembaga keistimewaan, alokasi dana yang sesuai, serta kebijakan yang memperhatikan kesejahteraan rakyat Aceh secara keseluruhan.

Salah satu langkah penting yang harus diambil adalah mendorong penguatan pendidikan agama, adat, dan budaya Aceh yang relevan dengan perkembangan zaman. Jangan terlalu jauh gap dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.

Selain itu, pemimpin Aceh ke depan juga diharapkan dapat memperjuangkan hak Aceh untuk mendapatkan alokasi dana keistimewaan yang setara dengan daerah lain yang memiliki status serupa. Artinya, lobby anggaran dan kebijakan dari Pusat wajib dilakukan.

Halaman
123

Berita Terkini