Oleh: Ghina Maisarah dan Neva Sempena
Budayawan Aceh, Tarmizi A Hamid, dan dosen kami di UIN Ar-Raniry, Hasan Basri M Nur, dalam ulasannya di Serambi Indonesia edisi 26 November 2024, menggagas calon Gubernur Aceh yang memilki rasa sultan era Kerajaan Aceh Darussalam.
Tulisan Tarmizi A Hamid dan Hasan Basri M Nur itu sangat menarik dan terukur dalam menghidupkan kembali identitas Aceh yang telah lama memudar.
Kedua penulis ternama ini menawarkan konsep pemberdayaan Gubernur Aceh hasil Pilgub 2024, terutama dalam bidang agama, pendidikan, adat dan kedudukan ulama dalam pemerintahan (Baca: Rindu Gubernur Rasa Sultan, https://aceh.tribunnews.com/2024/11/26/rindu-gubernur-rasa-sultan-aceh).
Melanjutkan tulisan Tarmizi A Hamid dan Hasan Basri M Nur yang ditayangkan Serambi Indonesia satu hari sebelum Pilgub Aceh 2024, dalam tulisan ini kami menawarkan gagasan baru tentang pemberdayaan jabatan Wali Nanggroe Aceh (WNA).
Kita mengetahui bahwa Aceh adalah daerah Istimewa dan khusus yang diatur dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 dan UU Nomor 11 Tahun 2006. Di antara kekhususan Aceh adalah memiliki Lembaga Wali Nanggroe (LWN).
Akan tetapi, sejak dibentuknya Lembaga Wali Naggroe pada tahun 2013 hingga akhir tahun 2024 tampak tidak mempunyai pengaruh dan kontribusi dalam pembangunan Aceh. Wali Nanggroe seperti hanya menjadi “Tukang Peusijuek” pada acara tertentu, laksana teungku imuem di desa-desa.
Kebangkitan dengan Keistimewaan yang Nyata
Rabu, 27 November 2024, menjadi tonggak penting dalam perjalanan sejarah politik Aceh, karena pada hari itu, masyarakat Aceh memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang akan memimpin provinsi tersebut untuk periode 2025-2030.
Pilgub ini tidak hanya merupakan ajang demokrasi biasa, tetapi juga menjadi momentum bagi rakyat Aceh untuk menentukan arah masa depan daerah yang penuh dengan sejarah, budaya, dan keistimewaan.
Harapan besar digantungkan pada pemimpin yang dapat mewujudkan "rasa sultan" — sebuah kepemimpinan yang berwibawa, disegani, dan mampu memperjuangkan hak-hak istimewa Aceh secara nyata.
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh sebagai penyelenggara Pilgub Aceh telah menetapkan Gubernur Aceh – Wakil Gubernur Aceh terpilih 2025-2030. Pasangan tersebut adalah Muzakir Manaf – Fadhlullah (Baca: Serambi Indonesia, edisi 9/12/2024).
Pada awal tahun 2025, Aceh akan memiliki pemimpin baru yaitu Muzakir Manaf atau Mualem. Beliau adalah mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Muzakir Manaf harus diterima sebagai Gubernur Aceh oleh seluruh rakyat, walau ada yang tak memilih beliau. Ketetapan dari KIP Aceh atas nama pemerintah harus diterima dengan lapang dada.
Rakyat menaruh harapan besar pada sosok Muzakir Manaf dan Fadhlullah untuk memajukan pembangunan Aceh sehingga peringkat Human Development Index (HDI) Aceh akan semakin membaik pada masa yang akan datang.
Menurut standar United Nation Development Programme (UNDP), HDI diukur dari aspek ekonomi (pendapatan per kapita rakyat), kesehatan dan pendidikan (mutu/daya saing dan akses pendidikan).
Selain harus mampu mengangkat HDI Aceh, Muzakir Manaf harus memberdayakan sosok Wali Nanggroe Aceh (WNA) sehingga ada nuansa Sultan pada Paduka Yang Mulia Almukarram Almudabbir Wali Nanggroe Aceh.
Dua Alasan WNA "Rasa Sultan"
1. Warisan Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam
Aceh, sebagai bekas Kesultanan Aceh Darussalam, memiliki sejarah yang sangat berharga. Kesultanan Aceh pada masa kejayaannya (1496–1945) pernah menjadi salah satu kerajaan Islam yang paling berpengaruh di dunia.
Para pemimpin Aceh pada masa itu dihormati tidak hanya oleh rakyatnya, tetapi juga oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Turki Utsmani, Safawi di Persia, Mughal di India, dan Maroko.
Masyarakat Aceh merindukan sosok pemimpin yang tidak hanya berwibawa dan adil, tetapi juga memiliki pengaruh besar, baik di tingkat nasional maupun internasional, untuk mengembalikan martabat Aceh yang pernah gemilang pada masa lalu.
Kepemimpinan yang berakar pada sejarah ini diharapkan dapat memberikan rasa aman dan harapan baru bagi masyarakat Aceh untuk maju dan berkembang.
2. Keistimewaan yang Belum Terwujud
Aceh memiliki status keistimewaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, yang mengakui posisi Aceh sebagai daerah yang memiliki kekhususan, sama seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Meskipun demikian, hingga kini Aceh belum merasakan manfaat penuh dari keistimewaan tersebut, terutama dalam hal alokasi dana untuk pemeliharaan dan pengembangan keistimewaannya.
DIY, yang dipimpin oleh seorang Sultan yang juga bertanggung jawab atas pengelolaan keistimewaan daerah, mendapatkan dana khusus dari pemerintah pusat. Namun, Aceh, meskipun memiliki status yang sama, belum menerima perhatian yang serupa.
Wali Nanggroe dan Kepemimpinan Kembar
Sebagai sebuah daerah dengan tradisi kepemimpinan yang khas, Aceh memiliki Lembaga Wali Nanggroe (LWN) yang memiliki potensi untuk berperan lebih strategis.
Dalam tradisi Kesultanan Aceh Darussalam, sistem kepemimpinan bersifat "kembar", yakni antara Sultan dan Qadhi Malikul Adil, yang berfungsi sebagai pengawas dan penjaga nilai-nilai agama dan adat (Baca: Disbudpar Aceh, Ensiklopedia Kebudayaan Aceh, 2018).
Pemimpin Aceh masa depan diharapkan mampu mengaktifkan peran lembaga Wali Nanggroe secara lebih optimal, serta menyatukan kebijakan antara kepemimpinan politik dan agama.
Dengan adanya model kepemimpinan ini, Aceh memiliki peluang untuk kembali mengedepankan nilai-nilai keislaman yang moderat, sekaligus mempertahankan kearifan lokal yang sudah ada sejak zaman Kesultanan Aceh.
Harapan pada Gub-Wagub Aceh 2025-2030
Pemimpin yang terpilih dalam pemilu 2024 diharapkan dapat memahami betul makna dari keistimewaan yang dimiliki Aceh. Mereka harus memiliki komitmen untuk menghidupkan kembali potensi keistimewaan Aceh secara nyata, dengan fokus pada penguatan lembaga keistimewaan, alokasi dana yang sesuai, serta kebijakan yang memperhatikan kesejahteraan rakyat Aceh secara keseluruhan.
Salah satu langkah penting yang harus diambil adalah mendorong penguatan pendidikan agama, adat, dan budaya Aceh yang relevan dengan perkembangan zaman. Jangan terlalu jauh gap dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
Selain itu, pemimpin Aceh ke depan juga diharapkan dapat memperjuangkan hak Aceh untuk mendapatkan alokasi dana keistimewaan yang setara dengan daerah lain yang memiliki status serupa. Artinya, lobby anggaran dan kebijakan dari Pusat wajib dilakukan.
Dengan semangat "rasa sultan," Aceh tidak hanya akan dihormati di tingkat nasional, tetapi juga mampu menunjukkan eksistensinya di kancah internasional.
Semoga Gubernur Aceh terpilih bersama Wali Nangroe Aceh mampu mengangkat jati diri Aceh di mata nasional dan internasional.
Semoga tahun 2025 menjadi awal dari kebangkitan Aceh yang lebih sejahtera (ekonomi), sehat, dan cerdas (pendidikan) sehingga rakyat Aceh terpandang di tingkat nasional, regional dan internasional. Insya Allah.
Banda Aceh, 9 Desember 2024
Penulis, Ghina Maisarah dan Neva Sempena, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab dan Pendidikan Madrasah Ibtidaiyyah UIN Ar-Raniry, ghinamaisarah14@gmail.com & nevasempena@gmail.com
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Artikel KUPI BEUNGOH lainnya baca DI SINI