Platform tersebut kini dipenuhi konten negatif seperti fitnah, caci maki, membuka aurat, teumeunak dan bahasa-bahasa kurang pantas lainnya sudah seperti aksi-aksi yang menyerupai manusia tidak bertuhan.
“Media sosial seperti TikTok bukanlah wilayah bebas nilai. Dalam konteks Aceh, masyarakat seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga kemuliaan Islam, mengingat sejarah dan peradaban yang diwariskan para endatu kita,” jelasnya.
Dr Zulkhairi menekankan bahwa pembentukan Satgas Pengawasan Media Sosial merupakan langkah strategis untuk mengantisipasi kasus-kasus penistaan agama dan menjaga implementasi syariat Islam di ruang digital.
“Saya menyarankan agar Satgas ini nantinya dapat melibatkan unsur pemerintah, kepolisian, para ulama, akademisi, hingga tokoh masyarakat,”
“Mereka bertugas memastikan bahwa nilai-nilai Islami dan Syariat Islam yang berlaku di Aceh juga diterapkan di media sosial seperti TikTok,” ujarnya.
Selain itu, Dr Zulkhairi juga menyoroti urgensi penerapan Qanun Penyiaran Aceh, yang membuka peluang untuk mengatur penggunaan media digital seperti TikTok, YouTube, Instagram, dan Facebook.
“Platform media sosial saat ini memiliki pengaruh yang jauh lebih besar dibandingkan televisi dan radio. Oleh karena itu, pengawasan terhadap penyiaran berbasis internet harus menjadi prioritas,” pungkasnya.
Dr Zulkhairi berharap pemerintah Aceh melihat kasus secara serius dan segera mengambil langkah konkret seperti dengan pembentukan Satgas.
“Kita tidak hanya berbicara soal aturan Qanun yang harus dihormati, tetapi juga bagaimana menjaga identitas Aceh sebagai Serambi Mekah yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam,” katanya.
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap media sosial di era digital, khususnya untuk menjaga syariat Islam yang menjadi landasan kehidupan masyarakat Aceh.
(Serambinews.com/ar)