Ahmad Humam Hamid *)
LEBIH dari 30 tahun yang lalu politisi terkemuka, orator hebat, dan gubernur negara bahagian New York, AS, tiga kali berturut-turut, Mario Cuomo menyederhanakan pekerjaan utama pejabat publik, utamanya yang berurusan dengan eksekutif. Bagi Cuomo, hanya ada dua pekerjaan eksekutif-berkampanye, dan memerintah, jika terpilih.
Dalam sebuah frasa yang kemudian menjadi kalimat keramat, Cuomo menyebutkan, “berkampanye seperti puisi, dan memerintah seperti prosa.”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia salah satu arti puisi adalah gubahan dalam bentuk bahasa yang dipilih dan ditata secara cermat, sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama dan makna khusus.
Puisi dengan demikian adalah sebuah komposisi tulisan atau lisan yang ritmik yang ketika dibaca atau didengar membangkitkan gairah, kesenangan, imajinasi, dalam kata yang berbunga-bunga.
Puisi dengan demikian membantu orang untuk menarik perhatian, mengakomodir asipirasi, dan bahkan memfokuskan pikiran.
Berbeda dengan puisi yang menekankan pada struktur ritmis, maka prosa mengikuti mode bahasa tulis yang lebih standar, dan beralur alami.
Berbeda dengan puisi, prosa mempunyai definisi yang lebih elaboratif, sistematis, dan kualitatif.
Bandingkan saja misalnya prosa - novel “Saman” karya Ayu Utami yang mengungkapkan kontroversi dan realitas sosial yang dialami masyarakat dengan puisi Chairil Anwar “Aku” .
Berbeda dengan “Aku” yang penuh dengan ritme dan kiasan simbolik gambaran kegigihan, dan semangat pantang menyerah melawan penjajahan, “Saman” lebih, beralur, mengalir, dan sangat detail dalam mengungkapkan apa yang sedang diceritakan.
“Aku” adalah puisi, sedangkan “Saman” adalah prosa. Aku adalah kampanye dan Saman adalah kinerja pemerintahan.
Kalau kita membaca dengan benar dan membandingkan antara survey Kompas dan survey Celios, maka apa yang tertangkap walaupun tak penuh, yang dicari adalah apakah pemerintah telah masuk ke ruang prosa meninggalkan puisi yang digunakan ketika kampanye.
Dengan kata lain apa yang dikejar oleh Celios adalah sejauh mana puisi yang dikumandangkan pada masa kampanye telah terungkap dengan benar dan lengkap dalam tindakan dan kebijakan pemerintahan Prabowo.
Paling kurang ada tiga contoh prosa yang belum tuntas ditulis secara mengalir yang dapat dimengerti, dijadikan rujukan, dan dapat dilihat secara jelas, baik dikalangan pembantu Presiden, para pemangku kepentingan inti dan strategis, dan masyarakat luas.
Yang paling menonjol, Celios misalnya menilai target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan oleh Prabowo, sebagai target yang sangat ambisius.