Opini

Mencetak Keterampilan Kepemimpinan pada Anak: Peran Orang Tua sebagai Kunci Utama

Editor: Ansari Hasyim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

FRIDA PIGNY, S.IP., M.Com., Home Education Specialist, Advokat Keberagaman,  Anggota Aceh Australian Alumni (AAA), dan founder SuperSchool.ing, melaporkan dari Banda Aceh

Oleh: Frida Pigny SIP MCom   

PERNAAHKAH kita melihat seorang anak kecil menangis tersedu-sedu karena dimarahi orang tuanya? Atau mungkin kita pernah menyaksikan seorang anak yang begitu takut untuk mengungkapkan pendapatnya? 

Di balik air mata dan ketakutan itu, tersimpan luka yang mungkin akan terus membekas sepanjang hidupnya.

Bahkan, demi diterima secara sosial, seorang anak bisa terdorong untuk 'membeli' pertemanan dengan berbagi uang jajan secara berlebihan. 

Ia rela mengorbankan mainan yang sangat diinginkan untuk dijadikan upeti di sekolah, bahkan sampai berani mengambil uang orang tuanya tanpa izin untuk mentraktir teman-teman. 

Ini bukan bentuk empati, melainkan tekanan teman sebaya yang merusak rasa percaya diri, tanggung jawab pribadi, dan pendidikan keuangan pada anak. 

Mereka akhirnya belajar bahwa kebutuhan dan keinginan mereka sendiri tidak sepenting tuntutan orang lain.

Baca juga: Sebut Kondisinya tak Ideal untuk Punya Anak, Ariel Tatum Ungkap Keinginannya untuk Childfree

Jika di usia belia mereka sudah terbiasa dengan sikap ini, bagaimana dengan masa depan kepemimpinan mereka? 

Tekanan ini perlahan mengikis kepemimpinan otentik dalam diri anak. Fenomena ini bukan sekadar teori. Saya menyaksikan langsung ketika mengelola bisnis kuliner Mister Geleng di Banda Aceh. 

Gen Z yang bekerja bersama saya sering terlibat pinjam-meminjam uang dengan pihak keluarga dan teman daripada menabung demi masa depan mereka sendiri.

Efek ‘Labeling’ Orang Tua terhadap Anak

Saya masih ingat saat putri saya, Axelle, yang saat itu berusia sekitar empat atau lima tahun, melihat seorang anak yang lebih tua darinya diperkenalkan ibunya dengan sikap malu-malu, bersembunyi di balik rok sang ibu. Axelle mendekatinya, memperkenalkan diri, dan mengajaknya bermain.

Di rumah, Axelle bertanya, "Kenapa Mama-nya anak itu kenalin anaknya sebagai pemalu tadi, Ma? Bukannya itu bikin anaknya jadi nggak percaya diri?"

Pertanyaan polos ini menohok saya. Banyak orang tua di sekitar saya, tanpa sadar, memberi label seperti itu pada anaknya dalam situasi sosial. 

Niatnya mungkin untuk menjelaskan perilaku anak, tapi efeknya? Label ini bisa menjadi identitas yang membatasi potensi mereka. Anak yang terus-menerus disebut "pemalu" akhirnya benar-benar merasa dirinya seperti itu dan takut untuk berkembang.

Peran Keluarga sebagai Role Model

Orang tua adalah guru pertama anak. Setiap kata, tindakan, dan sikap akan menjadi panutan bagi mereka. Jika orang tua mudah marah, anak belajar untuk meledak-ledak. 

Jika orang tua suka mengeluh, anak pun akan tumbuh menjadi pribadi yang pesimis. Sebaliknya, jika kita menunjukkan sikap positif, sabar, dan penuh kasih sayang, anak pun akan menirunya.

Ingin generasi muda yang bebas asap rokok? Pastikan generasi lawasnya sudah terbebas dari ilmu hisab. Rumusannya sederhana: children see, children do—apa yang anak lihat, itulah yang mereka lakukan.

Kepemimpinan Dimulai dari Rumah

Pelatihan kepemimpinan bukan tugas sekolah atau organisasi, ini dimulai dari keluarga inti. Karena pentingnya keterampilan kepemimpinan di abad ke-21, saya menerbitkan buku Raising Future Leaders: A Parent's Handbook, yang juga tersedia dalam bahasa Indonesia dengan judul Membangun Jiwa Kepemimpinan Ananda dari Rumah: Panduan Praktis untuk Orang Tua. Buku ini mendapatkan testimoni dari guru besar saya, Brian Tracy:

"This is a wonderful book, full of warm, wonderful ideas that you can use immediately to raise happy, healthy, self-confident children, and teach them to be leaders when they grow up."

Guru saya menekankan bahwa kepemimpinan bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba di dunia kerja, ini harus dibangun sejak dini, dengan teladan dari orang tua.

Mencetak Pemimpin Sejak Dini

Kepemimpinan bukan sekadar jabatan atau posisi, tetapi karakter. Anak yang percaya diri, berempati, dan mampu memecahkan masalah akan tumbuh menjadi pemimpin yang baik. Berikut beberapa cara sederhana menanamkan jiwa kepemimpinan:

Berikan kebebasan: Izinkan anak mencoba hal baru dan melakukan kesalahan. Jangan buru-buru memarahi, tapi justru rayakan proses belajarnya!

Dengarkan dengan aktif: Berikan perhatian penuh saat anak berbicara. Letakkan ponsel, tatap mata mereka, dan benar-benar ada bersama mereka.

Hargai pendapat anak: Ajak mereka berpikir kritis dan sampaikan opini tanpa takut dikritik.

Berikan tanggung jawab: Tugas kecil sesuai usia akan mengajarkan mereka disiplin dan kepemimpinan.

Jadilah contoh yang baik: Tunjukkan bagaimana menghadapi masalah dengan tenang dan bijaksana. Ajari teknik pernapasan dan meditasi jika perlu.
 
Tantangan di Aceh

Di Aceh, pola asuh masih didominasi gaya tradisional dan otoriter. Nilai agama dan budaya yang kuat seharusnya tidak menjadi penghambat, tetapi justru bisa dikombinasikan dengan pendekatan modern yang lebih humanis.

Saya tak bisa melupakan kejadian di Suzuya, salah satu supermarket terbesar di Banda Aceh tahun 2024. Saat itu, seorang nenek dengan balita di lorong yang sama dengan saya dan Axelle. 

Saat si kecil berjalan terhuyung, sebuah barang jatuh dari rak. Reaksi nenek itu mengejutkan saya—tanpa ragu, ia menampar tangan mungil anak itu keras sekali, PLAAK! PLAAK!!

Bukan hanya tamparan yang mengiris hati, tetapi juga kata-kata yang keluar dari mulutnya, "Kamu JAHAT sekali! Jahat sekali!! Jahat!!" Ia mengulang kata itu berkali-kali sambil terus menepuk tangan anak tersebut, seolah ingin memastikan saya mendengarnya. 

Lebih parah lagi, ia melirik ke arah saya, seakan mencari validasi bahwa ia telah melakukan hal yang benar.

Bagaimana mungkin seorang anak yang masih belajar memahami dunia sudah dicap ‘jahat' oleh orang terdekatnya sendiri?

Kebutuhan Pemimpin di Indonesia dan Dunia

Indonesia sedang menghadapi krisis kepemimpinan. Sebuah studi di jurnal Universitas Islam Riau juga menyoroti betapa pentingnya pendidikan dan pola asuh dalam membentuk karakter pemimpin masa depan.

Secara global, dunia membutuhkan pemimpin yang adaptif, berintegritas, dan berpikir kritis. Jika kita tidak mulai dari rumah, dari mana lagi? Bagaimana dengan Aceh?

Anak-anak kita bukan hanya butuh orang tua yang mendidik, tetapi juga yang menginspirasi. Kita tidak hanya membesarkan anak, kita sedang mencetak pemimpin. Mulai hari ini, mari kita jadikan rumah kita sebagai sekolah kepemimpinan pertama bagi anak-anak kita.

Siapkah kita? Atau kita hanya akan terus mewariskan pola lama dan berharap hasil berbeda? 

Albert Einstein pernah berkata, 'hanya orang gila yang melakukan hal yang sama berulang kali dan mengharapkan hasil yang berbeda'.

Bagaimana dengan Aceh, apakah Aceh sudah siap untuk membuat label baru, yang lebih membangun daripada ‘Aceh Pungo’? (*)

*) Penulis Home Education Specialist, Advokat Keberagaman, Publik Speaker, Anggota Aceh Australian Alumni (AAA), dan founder SuperSchool.ing
email: frida.pigny@gmail.com

Berita Terkini