Kini, tradisi berlemang di rumah tangga tidak terdengar lagi di Pidie. Namun, pedagang kue lemang banyak yang menjajakan dagangan itu pada hari 'mak meugang' di pasar-pasar di seluruh Kabupaten Pidie.
M Yusrizal SPd yang berasal dari Simpang Mulieng, Aceh Utara, mengatakan bahwa tradisi toet leumang menyambut bulan Ramadhan tidak dipraktikkan di daerahnya. Yusrizal berkali-kali menyebut budaya Aceh itu banyak dilakoni oleh masyarakat barat dan selatan Aceh (Barsela). Siti Hajar SHum, MAg yang tinggal di Peureulak, Aceh Timur, juga menyebut tidak mengenal tradisi berlemang di daerahnya menjelang bulan Ramadhan.
Budaya lemang di Barsela
Kamis pagi, 7 Maret 2024, saya berbincang dengan Tgk Safaini MA mengenai budaya toet leumang menyambut puasa di Aceh Selatan. Tgk Safaini berasal dari Bukit Gadeng, Kota Bahagia (dulu Bakongan), Aceh Selatan.
Saya bertemu dengannya di salah satu warung kopi Keude Tungkop, Aceh Besar.
Menurutnya, Bakongan, Aceh Selatan, boleh dikatakan sebagai “benteng terkuat” dalam melestarikan budaya toet leumang itu.
Persiapan toet leumang mak meugang sudah mulai dipersiapkan sekitar enam bulan sebelum hari “H”.
Kemudian saya menelepon Dra Mardiati T. Djafar yang berasal dari Gampong Guhang, Kecamatan Blangpidie, Aceh Barat Daya (Abdya). Ternyata di sanalah “sarang lemang” yang paling besar di Aceh.
Tempo dulu sampai tahun 1980-an, hampir setiap rumah tangga memasak lemang untuk hari mak meugang. Persiapan untuk membuat “kenduri lemang” sudah dilakukan lebih sebulan sebelum hari “H”.
Para lelaki Blangpidie beramai-ramai geuek u gle (naik ke gunung) mencari kayu bakar untuk memasak lemang. Bahan penghidup bara api itu boleh jadi kayu-kayu kering yang besar-besar maupun 'uram trieng' (pangkal bambu kering).
Setelah terkumpul, kayu pemanggang lemang itu dibawa turun gunung secara bertahap sedikit demi sedikit. Ketika sudah mendekati rumah, barulah semua anggota keluarga ikut mengangkutnya dan disimpan di dekat rumah.
Pada saat memasak lemang, terlihatlah riang gembira masyarakat Blangpidie, terutama pada wajah anak-anak. Reuoh-reuah, capek lelah, peluh membasahi seluruh tubuh, semuanya sirna diempaskan oleh kegembiraan yang menyejukkan hati.
Menurut Dra Mardiati yang merupakan istri Drs Mohd Kalam MAg almarhum (sahabat saya dalam menulis buku berhuruf ganda: Arab Jawi dan huruf Latin), tradisi roet leumang menjelang puasa masih tetap lestari di Blangpidie, walaupun dalam skala yang sudah mengerucut. Kalau dulu, hampir semua rumah tangga memasak lemang, sekarang masih tetap ada rumah-rumah yang melaksanakannya.
“Kini, posisi lemang sudah tergantikan oleh ketupat,” kata Bunda Mardiati saat mengakhiri “ngobrol budaya” lewat telepon dengan saya. Guru Nur Habibi SPd menjelaskan pula soal tradisi berlemang di Kabupaten Nagan Raya.
Dulu, katanya, budaya toet leumang amat merakyat di Nagan Raya. Nyaris setiap rumah tangga melaksanakannya. Segala persiapan memang sudah disediakan beberapa bulan sebelumnya, terutama terkait persiapan kayu bakar.
Ibu Nur Habibi yang bertugas di MTSN 3 Meulaboh, Aceh Barat, juga mendedah tradisi unik hari meugang di tempat kelahirannya, Ulee Jalan, ibu kota Kecamatan Beutong, Nagan Raya.
Di sana, katanya, hampir setiap rumah tangga mengadakan kenduri pada hari meugang. Undangan paling utama adalah Teungku Imum atau Teungku Sagoe alias Teungku Peutua sebutannya di Pidie. Beliau adalah kepala urusan agama di setiap kampung di Aceh.