Oleh : Fairuziana Humam *)
Pada tahun 2017, komunitas Muslim di Palo Alto, California, Amerika Serikat, diguncang oleh serangkaian kasus bunuh diri di kalangan remaja. Di antara korban, terdapat seorang siswa Muslim.
Duka dan kebingungan muncul di tengah masyarakat yang selama ini belum pernah menghadapi tragedi semacam itu secara terbuka. Namun, alih-alih bungkam, komunitas Muslim setempat memilih untuk bertindak.
Stanford Muslim Mental Health and Islamic Psychology Lab mengembangkan sebuah pendekatan baru yang disebut Muslim Postvention Community Healing Sessions (M-PCHs).
Pendekatan ini dirancang untuk memberikan ruang aman bagi komunitas dalam menyikapi kematian akibat bunuh diri, dengan pendekatan Islami dan ilmiah.
Sesi ini menyatukan para pemuka agama, dokter, psikolog, dan relawan untuk mendampingi masyarakat yang berduka agar dapat memproses rasa kehilangan secara kolektif dan penuh kasih sayang, tanpa stigma dan tanpa penghakiman.
Kini, mari kita bandingkan dengan kondisi yang terjadi di Aceh beberapa waktu lalu.
Menjelang pertengahan April 2025, dua kasus bunuh diri mengguncang masyarakat Aceh.
Seorang perempuan muda ditemukan meninggal di kamar kosnya di Banda Raya, Banda Aceh.
Dalam laporan media, disebutkan bahwa korban sebelumnya sempat menyampaikan rasa ingin mengakhiri hidupnya.
Tidak lama berselang, seorang mahasiswi lainnya juga ditemukan dalam kondisi yang serupa oleh orang terdekatnya.
Respons yang muncul di tengah masyarakat, baik di dunia nyata maupun media sosial penuh dengan duka, tetapi juga diliputi oleh stigma.
Tidak sedikit komentar yang menghakimi, menyalahkan, bahkan merendahkan korban.
Dalam masyarakat religius seperti Aceh, bunuh diri tidak hanya dipandang sebagai dosa besar, tetapi juga sebagai aib yang harus ditutupi.
Akibatnya, tidak tersedia ruang aman bagi keluarga korban, orang terdekat, atau masyarakat luas untuk membicarakan rasa kehilangan, rasa bersalah, maupun trauma yang ditinggalkan.