Hal ini membuat proses pembayaran digital tidak praktis, serta nasabah harus menyimpan uang di beberapa dompet digital (e-wallet).
Merespons hal tersebut, Bank Indonesia memutuskan untuk mengintegrasikan seluruh metode pembayaran dan penyelenggara jasa sistem pembayaran yang terdaftar di Bank Indonesia.
Baca juga: Kata Ahli Ekonomi Soal Sikap Indonesia Terhadap Keluhan Qris dan GPN Oleh AS: Harusnya Biarkan Saja
BI kemudian mengesahkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) No. 21/18/PADG/2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code untuk Pembayaran pada 16 Agustus 2019.
Standar ini kelak diberi nama Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) dan diluncurkan bertepatan dengan 74 tahun Indonesia merdeka, yakni pada 17 Agustus 2019, dan mulai diterapkan secara luas pada 1 Januari 2020.
QRIS yang disebut mengintegrasikan berbagai sistem pembayaran digital dalam satu standar nasional agar lebih efisien dan inklusif, menemukan mementumnya ketika pandemi (Covid-19) melanda Indonesia, menjelang pertengahan tahun 2020.
Kala itu, para pelaku bisnis mulai dari UMKM hingga usaha besar berbondong-bondong mendaftar QRIS, seiring dengan tingginya kekhawatiran penggunaan uang kertas dan transaksi langsung.
Situs Wikipedia.org mencatat, pada Oktober 2020, BI telah mencatat bahwa QRIS sudah diimplementasikan kira-kira di 3,6 juta UMKM di seluruh Indonesia.
Selain UMKM, sejumlah objek wisata, moda transportasi bus, dan aplikasi pemesanan tiket kereta api KAI Access sudah menggunakan QRIS.
Hanya dalam waktu belum genap 6 tahun semenjak diluncurkan, jumlah pengguna QRIS mengalami peningkatan sangat pesat.
Hal ini ternyata mendapat perhatian serius dari Pemerintah Amerika.
Buktinya, beberapa hari sebelum Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor resiprokal, atau pada tanggal 31 Maret 2025, Pemerintah AS menerbitkan Laporan Estimasi Perdagangan Nasional (NTE) tentang Hambatan Perdagangan Luar Negeri tahun 2025 atau National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang diterbitkan pada 31 Maret 2025, atau
Dalam laporan itu, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) merinci hambatan perdagangan dari 59 negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia.
Indonesia disebutkan memiliki kebijakan yang dapat menghambat perdagangan digital dan elektronik, yang berpotensi memengaruhi perusahaan-perusahaan AS.
Salah satunya terkait implementasi QRIS dan GPN yang menimbulkan kekhawatiran perusahaan penyedia jasa pembayaran dan bank asal AS karena memaksa penggunaan sistem dalam negeri dan mengecualikan opsi lintas batas, sehingga dinilai dapat menciptakan hambatan pasar.
Baca juga: Sediakan Layanan Transaksi QRIS Tertinggi, Bank Aceh Beri Reward untuk Masjid dan UMKM Binaan
Akan Rambah China dan Arab Saudi
Publik Indonesia mungkin bertanya-tanya, mengapa standar pembayaran digital lokal ini begitu menarik perhatian Amerika Serikat?