Muhammad Adam MEd, Tenaga ahli DPR RI 2019-sekarang dan alumnus Master of Leadership and Managemen, Flinders University, Australia
BEBERAPA hari lalu, penulis dalam kapasitasnya sebagai Tenaga Ahli Anggota DPR RI menindaklanjuti dan mempertajam arahan Bapak H Ruslan M Daud SE MAP, salah seorang Anggota DPR RI dari Aceh, memfasilitasi pertemuan Bupati Pidie Jaya dengan Kepala Satuan Kerja Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air Balai Wilayah Sungai Sumatera I serta PPK Sanitasi Balai Prasarana Permukiman Wilayah Aceh, Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia.
Kolaborasi positif antara Bupati Pidie Jaya dengan salah seorang Anggota DPR RI perwakilan Aceh tersebut akan menghasilkan dana puluhan miliar rupiah dari APBN yang mengalir ke Pidie Jaya pada tahun ini.
Belajar dari konteks di atas, dalam tulisan ringkas ini, penulis hendak menyampaikan beberapa catatan konstruktif dalam rangka merespons antusiasme sejumlah kepala daerah yang menjemput dan melobi anggaran dan program ke pemerintah pusat.
Belakangan terpantau gerilya Bupati Aceh Utara dan Aceh Barat, Wali Kota Lhokseumawe, serta sejumlah kepala daerah lainnya ke Jakarta. Langkah dan inisiatif para kepala daerah tersebut patut diapresiasi dan diacungi jempol. Paling tidak, sudah menunjukkan itikad dan etos kerja yang progresif bahwa tidak mungkin anggaran dari pusat akan turun sendirinya tanpa ‘dijemput’.
Kendatipun demikian, dalam kondisi keterbatasan anggaran dan pola efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah pusat saat ini, mungkin ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan kepada kepala daerah yang hendak menjemput program atau anggaran ke nasional supaya perjalanan dinas mereka tersebut berpeluang lebih besar untuk berhasil.
Hal-hal dimaksud, antara lain: Pertama, kepala daerah harus memiliki skala prioritas ‘permintaan’ ketika menemui menteri atau kepala lembaga tertentu. Harus ada yang strategis dan spesifik. Umumnya, kepala daerah kita tidak menembak langsung ke inti permasalahan. Terkadang karena terlalu antusias, permintaan yang disampaikan terlalu banyak bahkan di luar tupoksi pihak yang sedang ditemui. Hal ini bisa dimaklumi karena mengingat di daerah terlalu banyak persoalan yang harus ditangani oleh seorang kepala daerah.
Namun perlu dipahami bahwa sekarang anggarannya sangat terbatas. Efisiensi di sana sini. Faktanya, kepala daerah yang melobi anggaran ke pemerintah pusat juga tidak sedikit. Mungkin dalam sehari ada puluhan audiensi dan tamu dari daerah yang diterima oleh seorang menteri atau kepala badan. Dalam kondisi tersebut, diperlukan kelihaian dari kepala daerah dalam memilih dan memilah isu yang strategis dan sinkron dengan agenda pemerintah pusat.
Kedua, seharusnya seorang kepala daerah datang ke Jakarta dengan membawa dinas teknis yang paham dan relevan dengan target yang akan dilobi di kementerian atau lembaga. Karena hal itu akan sangat membantu sang bupati/wali kota/gubernur ketika mempresentasikan sesuatu. Sebab, sudah menjadi lumrah bahwa seorang kepala daerah yang berlatar belakang politisi tidak terlalu menguasai hal-hal teknis. Karena itu, perlu dibantu oleh birokrat atau personel pendukung lain sehingga ‘tembakan’ yang dibidik di kementerian atau lembaga tepat sasaran.
Dengan kondisi anggaran yang terbatas seperti sekarang ini, kementerian atau lembaga sudah pasti akan mendukung request yang paling meyakinkan dan yang paling dianggap siap dari berbagai sisi.
Intinya, seorang kepala daerah perlu ada supporting system yang memadai. Semisal tim yang menyiapkan bahan yang mampu menyinkronkan permohonan pemerintah daerah dengan prioritas atau program pemerintah pusat. Idealnya, bahan-bahan tersebut perlu dipersiapkan jauh-jauh hari dan sudah didiskusikan dengan kepala daerahnya sebelum berkunjung ke Jakarta.
Jangan cuma asal membawa dan menyerahkan proposal, walhasil proposal-proposal tersebut hanya akan menjadi tumpukan kertas di kementerian atau lembaga.
Ketiga, idealnya ada tim (birokrat) yang melakukan penjajakan terlebih dulu. Sehingga ketika ada pertemuan formil antara seorang kepala daerah dengan pihak kementerian/lembaga, sifatnya lebih ke arah pengambilan keputusan atau kebijakan/kesepakatan. Poin yang ingin penulis sampaikan adalah akan sangat membantu diskusi antara kepala daerah dan kementerian jika sudah ada pembicaraan pendahuluan di level teknis di bawah.
Artinya, ketika di meja ‘bundar’ yang dihadiri oleh pejabat kementerian dan kepala daerah, pembahasannya tidak dimulai dari ‘nol’. Perlu dipahami bahwa untuk mendapatkan waktu pejabat kementerian level eselon 1 atau 2, apalagi level menteri/wakil menteri (wamen) bukanlah hal mudah. Untuk itu, jika sudah ada jadwal, harus dimanfaatkan dengan seefektif dan seefisien mungkin.
Keempat, seyogianya seorang bupati/wali kota atau gubernur ikut melibatkan para anggota DPR/DPD RI yang relevan dengan mitra kerja mereka ketika berkunjung ke suatu kementerian/lembaga. Karena perlu dicatat bahwa APBN itu dibahas oleh DPR RI, harapannya akan ada pengawalan di ranah legislatif pada saat pembahasan anggaran sehingga akan ada yang ‘mengingatkan’ dan menguatkan menteri atau dirjen supaya program yang disampaikan oleh seorang kepala daerah kepada kementerian akan terwujud kiranya. Seorang kepala daerah sewajarnya mampu bekerja sama dan berkolaborasi dengan lintas partai dan warna politik.
Supporting system