Halim juga mempertanyakan alasan pihak sekolah membebankan pembangunan fisik kepada wali murid.
"Pembangunan fisik itu tanggung jawab pemerintah. Kami sebagai wali murid sudah menanggung kebutuhan penunjang pendidikan anak seperti seragam, buku, dan lain-lain,"
"Bagi saya yang hanya seorang petani, hal itu sangat memberatkan, sehingga saya memilih untuk tidak mendaftarkan ulang anak saya," ujar Khairul Halim.
Lalu apa langkah selanjutnya yang akan dilakukan Halim untuk menyekolahkan anaknya?
Terkait hal ini, dia mengaku akan mencoba melihat peluang di sekolah lain.
"Belum semua sekolah membuka pendaftaran murid baru, jadi masih ada peluang,"
"Yang pasti, anak saya wajib sekolah. Apa pun akan saya upayakan agar anak saya bisa mendapatkan Pendidikan," tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, seorang petani cabai di Banda Aceh, Khairul Halim, curhat tentang kondisinya yang gagal memasukkan anaknya ke Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN).
Baca juga: Sosok Satria Arta Kumbara, Pecatan Marinir TNI AL yang Kini Jadi Tentara Bayaran Rusia
Baca juga: Golkar Bireuen Belum Bahas soal Musda, Siapa Bakal Didukung untuk Tingkat Aceh? Ini Kata Sekretaris
Warga Gampong Rukoh tersebut memutuskan untuk tidak melanjutkan proses pendaftaran ulang anaknya karena terganjal oleh besarnya uang masuk.
Kisahnya itu lalu ia bagikan melalui laman Facebooknya, Halim Perdana Kesuma, pada 5 Mei 2025. Di situ ia menumpah semua uneg-uneg terkait kegagalannya menyekolahkan anaknya di MIN.
Ia sangat berharap bisa menyekolahkan anaknya di MIN karena kurikulum pendidikannya kuat dengan nilai-nilai keagamaan.
Tetapi ternyata untuk bersekolah di MIN yang berstatus sekolah negeri, tidak semudah dan semurah yang dibayangkan.
Minimal ia harus menyiapkan uang Rp 3 juta agar anaknya bisa diterima, di dalamnya sudah termasuk uang seragam dan buku yang disiapkan oleh pihak sekolah.(*)