Laporan Saifullah | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, dengan dukungan UNICEF, dan Flower Aceh, menggelar Rapat Koordinasi Terpadu (RKT) untuk memperkuat kolaborasi multisektor dalam perlindungan perempuan dan anak, sekaligus mengawal finalisasi dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh.
Isu perlindungan perempuan dan anak menjadi fokus utama dalam Rakor tersebut, dengan harapan agar program strategis dapat terintegrasi dalam RPJM dan diimplementasikan secara efektif.
Pertemuan yang berlangsung di Ayani Hotel, Banda Aceh, Senin (2/6/2025) itu, melibatkan unsur pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat sipil, akademisi, tokoh masyarakat, lembaga mitra pembangunan dan media.
Kepala Kantor UNICEF Aceh, Andi Yoga Tama menegaskan, bahwa perlindungan perempuan dan anak merupakan isu strategis yang memerlukan kolaborasi multipihak.
“Perlindungan anak bukan sekadar soal keamanan, tetapi memastikan hak mereka untuk tumbuh dan berkembang secara optimal,” ujarnya.
Ia menyebutkan, sepanjang 2024, tercatat 1.227 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan rincian 656 terhadap anak dan 571 terhadap perempuan.
Selain itu, beber dia, 5,88 persen anak perempuan di Aceh menikah sebelum usia 18 tahun.
“Hal ini menunjukkan masih tingginya angka perkawinan anak yang berdampak pada kesehatan, pendidikan, dan masa depan ekonomi,” papar Andi Yoga.
Tantangan lainnya adalah keterbatasan layanan, di mana dari 23 kabupaten/kota di Aceh, baru 10 daerah yang memiliki UPTD PPA.
Kondisi ini, urainya, menyebabkan banyak korban tidak mendapatkan layanan yang memadai.
“Penguatan UPTD PPA, forum anak, dan layanan berbasis gampong harus terus didorong,” tegasnya.
Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Amrina Habibi menekankan, bahwa isu perlindungan anak adalah lintas sektor, meski DPPPA menjadi koordinator utama.
Ia menyoroti bahwa Aceh sebenarnya telah memiliki kerangka regulasi yang cukup, mulai dari UUPA hingga qanun yang memandatkan pemberdayaan perempuan dan anak.
“Namun tantangannya kini adalah implementasi di lapangan. Ujung tombak perlindungan adalah para pelaku layanan di lapangan. Karena itu, peningkatan kapasitas dan etika layanan sangat penting,” tutur Amrina.