Berikut, beberapa contoh bagaimana bahasa Aceh digunakan untuk membangun solidaritas dan hubungan sosial:
a. Sapaan dan ungkapan kehangatan
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Aceh sering menggunakan sapaan khas seperti "Meulayet?" (Apa kabar?) atau "Peunyoe sehat?" (Apakah sehat? Ungkapan ini menunjukkan kepedulian dan mempererat hubungan antarwarga.
b. Gotong royong dan kebersamaan
Dalam kegiatan sosial seperti gotong royong, bahasa Aceh digunakan untuk mengajak dan menyemangati sesama. Misalnya, ungkapan "Bek lagee buleun di langet, hana pat tamita" (Jangan seperti bulan di langit, tidak bisa dijangkau), mengingatkan agar seseorang tetap dekat dengan komunitasnya.
c. Pepatah dan hadih maja
Bahasa Aceh kaya akan pepatah yang mengajarkan nilai kebersamaan, seperti "Ureueng meusapat, gampong meugoeh" (Jika masyarakat bersatu, desa akan kuat). Pepatah ini sering digunakan dalam musyawarah desa untuk menekankan pentingnya persatuan.
d. Bahasa dalam tradisi dan upacara
Dalam acara adat seperti pernikahan atau kenduri, bahasa Aceh digunakan untuk menyampaikan doa dan harapan baik. Misalnya, dalam kenduri, sering terdengar ungkapan, "Semoga beurahmat Allah tapeugah" (Semoga mendapat rahmat dari Allah), yang memperkuat ikatan spiritual dan sosial.
Beberapa tradisi Aceh yang masih lestari, antara lain, peusijuek, meugang, kenduri beureuat, dan jeulamee. Tradisi-tradisi ini tidak hanya ritual adat, tetapi juga sarana untuk mempererat hubungan sosial dan menjaga nilai kebersamaan.
3. Menghindari kepunahan warisan leluhur
Seiring dengan modernisasi dan globalisasi, banyak aspek budaya lokal yang mulai tergeser oleh pengaruh budaya asing. Jika tidak dilestarikan, warisan budaya Aceh dapat terancam punah.
Oleh karena itu, perlu ada upaya konkret dalam menjaga eksistensi budaya dan bahasa daerah, seperti dokumentasi digital, festival budaya, serta pendidikan muatan lokal.
Selain itu, penggunaan media digital dalam penyebaran cerita rakyat Aceh juga dapat membantu memperkenalkan budaya ini ke masyarakat yang lebih luas.
Menurut data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh (2022), festival budaya yang didukung pemerintah telah berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap seni tradisional, dengan peningkatan partisipasi sebesar 30 persen dalam lima tahun terakhir.