Kupi Beungoh

Dilema Zakat sebagai PAD atau Non PAD : Peluang dan Tantangan di Aceh

Editor: Muhammad Hadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dinda Afrakasturi Kasvi, Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Pertama, zakat memiliki aturan dan ketentuan syariah yang ketat mengenai pengelolaan dan
penyalurannya, di mana zakat harus disalurkan kepada delapan asnaf (kelompok penerima) yang
telah ditentukan dalam syariah, dan penggunaan dana zakat di luar delapan asnaf tidak
diperbolehkan. 

Jika zakat dikelola oleh pemerintah daerah, ada risiko bahwa dana tersebut tidak akan digunakan sesuai dengan prinsip syariah, yang pada akhirnya dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat. 

Oleh karena itu, perlu ada mekanisme yang kuat untuk memastikan pengelolaan zakat tetap sesuai dengan syariah jika dimasukkan ke dalam kategori PAD.

Kedua, Pengelolaan zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpotensi menimbulkan konflik dan kebingungan di kalangan masyarakat, terutama terkait dengan kewajiban pajak.

Masyarakat dapat merasa terbebani jika harus membayar pajak dan juga menyetor zakat yang dikelola oleh pemerintah, yang dapat memicu ketidakpuasan dan mengurangi partisipasi dalam menunaikan zakat. 

Baca juga: Perkuat Peran Baitul Mal Gampong, Gubernur Aceh Usulkan Anggaran Belanja Zakat & Infak Masuk SPID 

Zakat memiliki karakteristik yang berbeda dengan pajak, sebagai kewajiban spiritual yang seharusnya tidak diperlakukan sebagai pajak yang bersifat wajib dan terikat oleh regulasi pemerintah. 

Pengelolaan zakat sebagai PAD juga dapat menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat, mengurangi motivasi mereka untuk menunaikan kewajiban zakat karena merasa terbebani membayar zakat dan pajak secara bersamaan. 

Selain itu, kebijakan zakat sebagai PAD masih menimbulkan banyak interpretasi yang berbeda, sehingga menyulitkan implementasinya di lapangan.

Ketiga, regulasi yang ada saat ini belum cukup jelas dan komprehensif untuk mengatur zakat sebagai PAD. 

Hal ini menyebabkan ketidakpastian dalam pengelolaan dan distribusi zakat, yang seharusnya diarahkan untuk membantu mustahik sesuai dengan ketentuan syariah. 

Jika zakat dijadikan sebagai PAD, ada risiko bahwa penggunaannya akan terpengaruh oleh kepentingan
politik dan administrasi, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah yang mengatur zakat.

Keempat, keterlibatan negara dalam pengelolaan zakat harus dilakukan dengan hati-hati. 

Meskipun negara memiliki peran dalam mengatur dan memfasilitasi pengumpulan zakat, pengelolaan zakat seharusnya tetap berada di tangan lembaga yang memiliki pemahaman mendalam tentang syariat Islam, seperti Baitul Mal. 

Dengan demikian, zakat seharusnya tetap diperlakukan sebagai instrumen sosial yang terpisah dari sistem pajak dan pendapatan daerah.

Zakat seharusnya dipandang bukan hanya sebagai kewajiban agama, tetapi juga sebagai instrumen
penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi di Aceh, mengingat potensi zakat yang besar
untuk membantu mengatasi masalah kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam. 

Halaman
1234

Berita Terkini