Saat itu, pertemuan digelar di Kantor Walhi Aceh, yang berkantor di Lampaseh Kota.
Saya, ketika itu sebagai salah seorang staf Walhi Aceh. (Sekali lagi jika tidak salah ingat).
Keputusan Para Jenderal
Waktu bergerak cepat.
Berbagai peristiwa di nasional dan Aceh mengubah banyak hal.
Melalui MoU Helsinki, 2005, Pemerintah dan GAM menyepakati perbatasan 1 Juli 1956.
Memang, MoU Heksinki bicara banyak tentang teritorial, termasuk perbatasan 1 Juli.
Namun, dalam konteks verifikasi batas yang paling diutamakan adalah dokumen kesepakatan asli.
“Alhamdulillah, yang kita temukan justru dokumen yang lebih penting, yaitu dokumen Kepmendagri tentang penegasan batas, nyang hana pat dakwa le,” tambah Safrizal.
Plot twist berikutnya adalah.
Nasib 4 pulau itu diputuskan oleh Prabowo selaku Jenderal Bintang 4, didukung oleh Kepmendagri Pak Rudini yang juga Jenderal Bintang 4, dan disuarakan sebagai milik sah Aceh oleh Muzakir Manaf selaku Gubernur Aceh yang dalam karir militernya di TNA GAM, juga seorang jenderal bingang 4.
Begitulah sejarah yang tidak pernah mati meski orang-orangnya sudah ada yang lama pergi.
Dan, Pak Safrizal ZA selaku aneuk Aceh kembali ditolong oleh Pak Rudini sehingga berakhirnya dakwa dakwi.
Empat pulau yang sempat dimasukkan ke wilayah administrasi Sumut, dikembalikan lagi ke pemiliknya, Aceh.
Saya duga, Pak Safrizal juga ikut bahagia lagi karena tidak lagi berhadap-hadapan dengan masyarakat kampung sendiri.
*) PENULIS adalah Pemerhati Politik dan Pemerintahan.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI