Dr H Taqwaddin Husin SH SE MS, Ketua ICMI Aceh, akademisi USK dan Hakim Tinggi Ad Hoc Tipikor
SABTU 21 Juni 2025 saya diminta oleh Organisasi Pemuda ICMI Aceh untuk menjadi narasumber pada Seminar Cendekiawan bertema 'Akselerasi Pengembangan Sektor Migas dan Pertambangan Aceh'. Saya memulai pembahasan dengan mengutip ketentuan dalam Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945, yaitu Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Mengacu pada ketentuan konstitusi di atas, Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki sifat Istimewa dan kewenangan khusus. Kedua sifat tersebut telah diatur dengan UU tersendiri, yaitu: UU 44/1999 tentang Keistimewaan Aceh dan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengatur perihal kekhususan Aceh. Kajian saya terhadap kedua undang-undang tersebut, menyimpulkan bahwa Aceh memiliki 4 sifat keistimewaan dan 26 kekhususan.
Saya perlu menjelaskan bahwa istilah penguasaan berbeda makna dan filosofi dengan istilah pengelolaan. Dalam konteks hukum, penguasaan adalah aspek legal yang mendasari hak, kewenangan, kewajiban dan tanggung jawab. Istilah dikuasai ditemukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sedangkan istilah pengelolaan ditemukan dalam beberapa undang-undang, lebih merujuk pada aspek manajerial yang berupa perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan penilaian. Sehingga, adalah sesat berpikir, jika ada penjabat yang hendak mengelola suatu teritorial tertentu tanpa jelas alas hak penguasaannya.
Terkait penguasaan dan pengelolaan tambang dan Migas Aceh ada beberapa undang-undang yang saling bersinggungan, yang perlu ditemukan keharmonisannya guna melahirkan kebijakan yang tepat dan dapat diimplementasi dengan sepenuh hati. Beberapa undang-undang (UU) yang bersinggungan dalam konteks Pengelolaan SDA Tambang dan Migas Aceh antara lain: UU Pokok Agraria, UU Pemerintahan Aceh, UU Lingkungan Hidup, UU Pemerintahan Daerah, UU Minyak dan Gas Bumi, UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), UU Pulau-Pulau Kecil, dan lain-lain.
Titik singgung krusial ditemukan antara UU Pemerintahan Aceh dengan UU Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 156 UU No 11 Tahun 2006 (UUPA) ditentukan; (1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya. (2) Pengelolaan tersebut meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan budidaya. (3) SDA dimaksud meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batubara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan. Jadi, dalam UUPA tegas disebutkan bahwa Pemerintah kabupaten/kota berwenang mengelola SDA baik di darat maupun di laut Aceh.
Sedangkan dalam UU No 23 Tahun 2014 (UU PEMDA) tidak memberikan lagi kewenangan apapun untuk Pemerintah kabupaten/kota dalam hal pengelolaan SDA dimaksud. Padahal pemerintah kabupaten/kota dan warga masyarakatnya adalah korban pertama dari bencana kerusakan lingkungan tersebut. Mereka hanya menjadi penonton saja dari proses eksploitasi SDA-nya.
Ketentuan berbeda terdapat di dalam dalam Pasal 156 UUPA yang seharusnya berlaku di Aceh, dimana secara yuridis pemerintah kabupaten/kota diberikan kewenangan pengelolaan pertambangan mineral, batubara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan.
Kalau merujuk pada asas lex specialis derogate lex generalis, maka ketentuan dalam UUPA-lah yang harus diberlakukan untuk Aceh, bukan UU Pemda. Tapi faktanya saat ini banyak Dinas Pertambangan kabupaten/kota di Aceh yang tidak ada lagi diberi kewenangan apapun dan tidak ada lagi yang diurus terkait pertambangan, padahal kegiatan galian tambang terus terjadi di kabupaten/kota yang dapat merusak lingkungan.
Pengelolaan Migas Aceh
Dalam Pasal 160 ayat (1) UUPA, ditentukan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama Migas yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh. Untuk melakukan pengelolaan bersama tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Aceh dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama.
Badan tersebut di atas adalah Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA). Jadi badan ini lahir karena diperintahkan oleh UU, bukan oleh PP. Sehingga, jika ingin meniadakannya pun mesti melalui UU. Artinya, begitu kuatnya eksistensi BPMA. Kontrak kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan Migas dapat dilakukan jika keseluruhan isi perjanjian kontrak kerja sama telah disepakati bersama oleh Pemerintah dan Pemerintah Aceh.
Sebelum melakukan pembicaraan dengan Pemerintah mengenai kontrak kerja sama dimaksud, Pemerintah Aceh harus mendapat persetujuan DPRA. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah, yaitu PP Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama SDA Migas di Aceh.
Berlakunya ketentuan dalam UUPA terkait Pengelolaan Migas bisa jadi berbenturan substansi dan mandatorinya dengan UU Migas, maka untuk solusi normatif terhadap hal ini juga dapat digunakan asas lex specialis derogate lex generalis, dimana yang diberlakukan adalah UUPA.
Dalam versi Aceh, pemberlakuan asas lex specialis kedengarannya mudah. Namun faktanya menurut versi Jakarta itu tidak mudah. Pemerintah Pusat bersikukuh bahwa ini ranahnya nasional dalam negara kesatuan. Bahkan juga ada yang berargumen menggunakan asas hukum lex posterior derogate lex priori, hukum yang terakhir menganulir hukum terdahulu.
Solusi dan prospek
Terkait adanya persinggungan hukum yang kadangkala memunculkan konflik regulasi, hemat saya solusinya selain menggunakan asas-asas hukum, juga bisa dilakukan melalui kesepakatan bersama seperti yang baru-baru ini dipraktikkan terkait solusi kisruh 4 pulau. Solusi implementatif terkait pengelolaan tambang dan Migas Aceh hemat saya diperlukan adanya Kesepakatan Bersama antara Gubernur Aceh dengan Menteri ESDM.