Oleh: Akhsanul Khalis
Wow. Itu reaksi pertama saya, ketika tiba-tiba melihat tautan opini terpampang di grup WhatsApp alumni fakultas.
Nama dan foto penulisnya tidak asing, seorang kawan lama yang saya kenal baik. Tulisannya mendapatkan komentar positif dan ada juga sebatas menyisipkan emoticon senyum.
Empunya tulisan tampak bangga. Tulisannya naik tayang di media. Rasanya seperti anak kecil mendapat permen coklat. Hormon kesenangan memuncak. Barangkali itulah semangat awal bagi siapa pun yang ingin dikenal sebagai penulis.
Kini, ia hadir di ruang publik. Mengajukan gagasan, menawarkan sudut pandang lewat karya tulis. Tentu, ikut senang. Meski, ada satu ganjalan kecil yang memancing tanda tanya dalam benak saya: sejak kapan ia belajar menulis?
Tapi saya menahan diri. Tidak elok mematikan kebahagiaan orang hanya karena kita lebih dulu melangkah.Saya tak mau menuduh ia tak bisa menulis. Hanya saja, selama ini, menulis opini populer ilmiah untuk media massa bukanlah ranahnya.
Baca juga: 10 Negara dengan Biaya Hidup Paling Mahal di Dunia, Ada Tetangga Indonesia
Jujur, tulisan perdananya masih terasa kikuk. Judulnya kepanjangan. Alur pikirannya bagai makalah seminar. Diksinya kaku. Pola kalimatnya seragam. Tidak ramah bagi pembaca awam. Saya menduga, artikelnya nyaris tanpa kurasi yang layak.
Anggapan bernada kritis itu disimpan sementara. Ternyata, saya tidak sendiri. Karena di linimasa, kegelisahan serupa mulai muncul. Teman-teman yang tekun menulis sejak lama, mulai protes, Skeptis, Sinis. Mereka gelisah melihat orang-orang yang dulunya tak akrab dengan dunia menulis, kini tiba-tiba rajin mengirim tulisan. Mendadak ramai menyebut diri penulis. Seperti fenomena jamur tumbuh dimusim hujan.
Ini bukan soal minat menulis yang tiba-tiba tumbuh. Mereka merasakan sesuatu telah berubah. Menulis kini tampak begitu mudah. Diam-diam kecurigaan mengarah ke satu nama: ChatGPT.
ChatGPT, mengubah kerja menulis secara ajaib, biasanya membutuhkan waktu berhari-hari, kini bisa disingkat dengan satu klik. Orang hanya perlu mengetik beberapa kata kunci, lalu lahirlah naskah yang rapi. Lebih terstruktur. Tidak repetitif. Bahkan alurnya lebih runut ketimbang tulisan penulis yang sudah terbiasa menata ide. Tulisan terkesan rapi inilah yang membanjiri media sosial, media massa, blog, dan platform daring lain.
Baca juga: Netanyahu Ngotot Ingin Hamas Letakkan Senjata sebagai Syarat Akhiri Perang Gaza
Apakah itu salah?
Mungkin tidak sesederhana itu. Kehadiran AI pantas disyukuri karena membantu banyak hal, termasuk urusan kerja administrasi. Namun, berbicara soal menulis, apalagi menulis sastra, menulis gagasan, tentu kita tak bisa menafikan etika.
Saya percaya, setiap orang punya hak belajar menulis, dengan cara apa pun. Termasuk lewat teknologi. AI memberi akses lebih luas bagi mereka yang sebelumnya tak pernah percaya diri menulis. Lagipula, kita tahu betul, tingkat literasi di negeri ini masih rendah.
Banyak penulis pemula tak beruntung mendapat mentor yang baik. Tidak semua punya komunitas yang suportif. Maka ketika AI hadir, mereka menemukan keberanian. Keberanian itulah yang perlu kita rayakan, bukan dicurigai.
Hikmahnya, tren menulis dengan bantuan ChatGPT justru mendorong banyak orang untuk lebih dekat dengan literasi. Di tengah godaan waktu luang yang sering diisi dengan game atau konten-konten murahan, menulis walau dengan bantuan AI tetaplah aktivitas yang lebih bernas.