Dr Teuku Zulkhairi MA, Sekjen Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) dan Dosen UIN Ar-Raniry
TULISAN Muhibuddin Hanafiah (MH) berjudul “Masih Adakah Ulama Alumni Dayah?” yang terbit halaman Opini Harian Serambi Indonesia Kamis, 31 Juli 2025 memuat sejumlah kritikan, sesungguhnya perlu ditanggapi agar tidak melahirkan generalisasi yang keliru terhadap peran dan eksistensi dayah di Aceh. Terlebih, pada faktanya, dayah hingga hari ini tetap menjadi benteng utama dalam proses kaderisasi ulama di tengah derasnya arus perubahan zaman.
Pertama, respons atas tulisan MH di media ini atau di media sosial itu adalah sikap yang wajar. Seorang akademisi seharusnya tidak perlu gundah jika pemikirannya ditanggapi. Kedua, dari tulisan MH, perlu ditegaskan bahwa pengakuan seseorang sebagai ulama di Aceh adalah domain penilaian masyarakat. Bukan klaim yang secara otomatis melekat hanya karena seseorang pernah belajar di dayah. Justru komunitas dayah sangat memahami bahwa laqab ulama adalah amanah besar yang membutuhkan integritas keilmuan, keshalihan, akhlak mulia, serta pengakuan sosial yang tidak lahir secara instan.
Para santri di dayah sejak dini diajarkan bahwa menjadi ulama adalah proses panjang yang harus dilalui dengan kesungguhan menuntut ilmu, mengikuti jejak para ulama besar seperti Imam Syafi'i dan para Imam mazhab lainnya, Imam Bukhari, Imam Nawawi, hingga Syaikh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Santri tidak diajarkan untuk mengejar status ulama, melainkan fokus menuntut ilmu sebagai bekal dunia dan akhirat. Tidak ada narasi di dayah yang memproklamasikan bahwa lulusan dayah otomatis menjadi ulama. Bahkan, komunitas dayah dengan terbuka menyebut akademisi perguruan tinggi sebagai “ulama kampus” tanpa ada resistensi apapun. Penulis sebagai akademisi UIN Ar-Raniry menjadi saksi atas realitas ini.
Namun, jika realitas sosial di Aceh lebih sering menyematkan gelar ulama kepada alumni dayah, itu semata-mata lahir dari tradisi panjang dayah sebagai pusat pengkajian ilmu-ilmu Islam yang otoritatif. Apakah masyarakat dilarang menganggap seseorang sebagai ulama karena latar belakangnya sebagai alumni dayah atau nondayah? Tentu tidak.
Selain itu, narasi penolakan atas otoritas ulama yang terbaca secara tersirat dari tulisan MH sebenarnya juga bukan sesuatu yang baru. Sejak dahulu, ada saja pihak-pihak yang berupaya menggugat eksistensi ulama dengan berbagai cara; dari menolak fatwa-fatwa ulama hingga menghendaki gelar ulama diberikan kepada siapapun meskipun tanpa belajar agama secara mendalam.
Ketiga, MH juga menyinggung bahwa proses mencapai maqam hikmah—yakni integritas moral, spiritual, dan akhlak kini telah terabaikan di dayah. Kritik ini jelas terlalu simplistik. Pergilah ke berbagai dayah di Aceh, siapa pun bisa melihat sendiri bagaimana pola pendidikan di dayah yang sangat ketat dalam mendidik santri dari aspek akhlak dan spiritualitas. Dari subuh hingga malam, santri digembleng dengan rutinitas keilmuan, dzikir, khidmat kepada guru, dan disiplin yang ketat.
Fenomena universal
Betul bahwa tidak semua santri atau lulusan dayah langsung mencapai maqam hikmah (tapi bukankah kita para dosen dan mahasiswa kita juga seperti itu?) sebagaimana di masa lalu pun proses ini memerlukan waktu panjang. Namun, budaya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) tetap menjadi roh utama pendidikan dayah hingga kini. Baik melalui pembelajaran, ibadah, nasihat rutin, zikir hingga tarekat tasawuf.
Selain itu, perlu juga dicatat bahwa dayah bukan hanya lembaga Pendidikan Islam, tetapi juga pusat dakwah, pengabdian masyarakat, dan penjaga tradisi keilmuan Islam berbasis turats. Maka kaderisasi ulama berbasis akhlak dan ilmu terus berjalan di dayah, meski tantangan zaman kian kompleks. Sistem pendidikan dayah yang mendidik santri sejak sebelum shalat subuh hingga larut malam dengan berbagai metode pendidikan dan pembinaan adalah bukti bahwa agenda membentuk insan berakhlak tidak pernah hilang dari khittah dayah.
Keempat, MH menyinggung kasus-kasus demoralisasi dan degradasi akhlak di dayah, termasuk kekerasan seksual yang melibatkan oknum tertentu. Perlu dicatat, kejahatan adalah musuh bersama, ia tidak mengenal agama, lembaga, ataupun status sosial. Data Komnas Perempuan (2021) menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan justru paling banyak terjadi di perguruan tinggi (27 persen), disusul lembaga pendidikan berbasis pesantren (19 % ). Fakta ini menunjukkan bahwa kejahatan adalah fenomena universal.
Terus berbenah
Dan komunitas dayah tidak pernah menoleransi kejahatan apapun, apalagi kejahatan kepada santri. Selama ini dayah-dayah di Aceh terus berbenah dengan berbagai langkah preventif untuk melindungi santri. Bahkan dayah menjadi satu-satunya lembaga pendidikan yang memisahkan kelas laki-laki dan perempuan. Maka atas fakta dan kesadaran semacam inilah sehingga masyarakat Aceh masih sangat mempercayai dayah, dibuktikan dengan animo santri baru yang terus membludak di berbagai daerah hingga kini. Jadi tidak benar sama sekali tuduhan MH perihal hilangnya kepercayaan publik terhadap dayah. Justru saat ini penulis melihat di hampir semua dayah santri baru terus membludak.
Masyarakat kita yang kritis tentu memahami kasus-kasus tersebut sebagai persoalan kasuistik. Bukan representasi wajah dayah secara umum. Tidak ada toleransi terhadap perilaku amoral tersebut, dan komunitas dayah terus berjuang membersihkan lembaganya dari perilaku buruk tersebut, dari kejahatan apapun dan dilakukan oleh siapapun. Apalagi oleh orang yang dianggap sebagai guru. Para santri dayah juga terus diajarkan bahwa tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk bermaksiat kepada Pencipta Makhluk (Allah swt).
Kelima, MH juga mengkritik bahwa banyak dayah telah kehilangan roh keikhlasan, filantropi, dan karakter humanis karena terjebak arus komersialisasi. Tentu kita harus jujur, ada segelintir dayah yang memasang tarif pendidikan yang sangat mahal. Mungkin mereka membutuhkan biaya operasional tinggi. Namun akan tidak adil jika kasus semacam itu digeneralisir. Sebab, masih banyak dayah yang membuka pendidikan gratis, atau hanya memungut SPP sebesar Rp20.000-Rp50.000 per bulan untuk menghidupi listrik. Sementara kebutuhan santri umumnya diperjuangkan oleh pimpinan dayah dan pengurusnya. Dayah-dayah semacam ini bahkan hidup dari sumbangan masyarakat dan inisiatif filantropi para teungku.
Kebutuhan zaman
Keenam, berkaitan dengan program Muadalah (penyetaraan ijazah) yang dikritik MH sebagai bentuk "komersialisasi" pendidikan dayah, seharusnya dilihat sebagai ikhtiar untuk memperkuat daya saing santri di dunia modern. Program ini bukan untuk mereduksi roh kaderisasi ulama, melainkan upaya menjawab kebutuhan zaman agar alumni dayah dapat melanjutkan pendidikan ke UIN, Timur Tengah, atau lembaga-lembaga tinggi lainnya dengan pengakuan formal yang sah. Bukankah ijazah adalah kebutuhan yang sah bagi anak bangsa di era ini? Apakah MH hendak mengajak kita kembali ke masa klasik dengan menafikan kebutuhan santri akan legalitas ijazah untuk bisa mengakses dunia akademik yang lebih tinggi?
Program Muadalah atau Pendidikan Diniyah Formal di dayah justru menjadi bentuk rekognisi negara atas eksistensi dayah yang perlu disyukuri. Proses kaderisasi ulama di dayah akan semakin kuat karena para alumni memiliki akses lebih luas untuk mengembangkan keilmuannya ke berbagai jenjang pendidikan lanjutan dengan bekal ijazah yang didapat di dayah. Sehingga justru dengan adanya rekognisi, dayah semakin kokoh menjadi pilar pendidikan Islam di Aceh.
Tuduhan MH bahwa dayah hanya melahirkan teungku-teungku muda yang labil sesungguhnya tidak mencerminkan realitas. Proses kaderisasi ulama adalah perjuangan panjang lintas generasi yang memerlukan kesabaran, ketekunan, dan ketulusan. Dayah tidak pernah berhenti mendidik, membimbing, dan menggembleng para santri dengan napas keikhlasan yang sudah teruji selama ratusan tahun. Dengan segala tantangan dan dinamika yang ada, dayah tetap istiqamah menjadi benteng keilmuan Islam dan lembaga kaderisasi ulama di Aceh. Insya Allah.