Oleh: Elly Sufriadi *)
Membaca Ulang Perdamaian Aceh
PERDAMAIAN Aceh merupakan salah satu capaian politik terbesar di Indonesia pasca-reformasi.
Selama lebih dari tiga dekade, wilayah ini dilanda konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia.
Konflik yang bermula dari ketidakpuasan terhadap distribusi sumber daya, pelanggaran hak asasi manusia, dan tuntutan kedaulatan tersebut mengakibatkan ribuan korban jiwa serta kerusakan infrastruktur yang masif.
Titik balik terjadi pada 15 Agustus 2005 ketika Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki ditandatangani di Finlandia.
Kesepakatan ini tidak hanya mengakhiri permusuhan bersenjata, tetapi juga mengatur tata kelola baru melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), program reintegrasi mantan kombatan, dan pelibatan misi internasional dalam memantau implementasi perdamaian.
Dua dasawarsa setelah kesepakatan, narasi perdamaian Aceh berkembang dari euforia pasca-konflik menuju dinamika yang lebih kompleks.
Isu-isu seperti penegakan HAM, penyelesaian konflik agraria, ketimpangan pembangunan ekonomi, dan pergeseran lanskap politik lokal mulai mewarnai pemberitaan dan laporan penelitian.
Untuk memahami perjalanan panjang ini, analisis berbasis text mining terhadap berbagai sumber informasi digunakan guna membaca tren sentimen publik dan media serta memetakan hubungan antaraktor dan isu.
Metodologi dan Sumber Data
Analisis ini memanfaatkan korpus yang disusun dari dokumen resmi, laporan lembaga internasional dan LSM, berita media, arsip daring, serta publikasi akademik.
Dokumen penting seperti teks MoU Helsinki, UUPA, laporan Misi Monitoring Aceh (AMM), dan laporan Crisis Management Initiative (CMI) menjadi referensi utama.
Baca juga: Jejak Panglima Kopassus di Aceh dari Masa Konflik hingga Damai, Kekayaannya Tembus Rp 6,3 Miliar
Baca juga: Daftar 8 Tim Sudah Lolos 16 Besar Piala Dunia Voli U21 2025 Putri: Indonesia Bisa Dijegal Argentina
Korpus juga dilengkapi dengan pemberitaan dari media nasional seperti Kompas, Tempo, dan The Jakarta Post, media lokal seperti Serambi Indonesia dan Dialeksis, serta kajian akademik dan arsip digital yang memuat rekam jejak implementasi perdamaian.
Proses analisis dimulai dengan preprocessing teks, termasuk ekstraksi snippet, normalisasi, dan pencocokan kata kunci.
Sentimen diklasifikasikan ke dalam kategori positif, netral, atau negatif berdasarkan kemunculan kata-kata tertentu yang mewakili pandangan optimis maupun pesimis terhadap perdamaian Aceh.
Meskipun metode ini masih bersifat leksikon sederhana, hasilnya cukup memberikan gambaran umum tren opini publik dan media.
Selain itu, identifikasi aktor dan isu dilakukan dengan pencocokan kata kunci untuk memetakan jaringan tokoh yang muncul, dan kemudian divisualisasikan dalam bentuk grafik hubungan.
Dinamika Sentimen Selama Dua Dekade
Tren sentimen yang dihasilkan dari korpus menunjukkan pola yang jelas. Pada periode awal, 2005 hingga 2007, sentimen positif mendominasi narasi publik.
Masa ini diwarnai dengan optimisme pasca-konflik, keberhasilan awal program demobilisasi dan reintegrasi, serta kehadiran AMM yang memberikan jaminan kredibilitas terhadap proses perdamaian.
Berbagai pemberitaan menggambarkan Aceh sebagai wilayah yang memasuki babak baru, diiringi harapan akan stabilitas politik dan pemulihan ekonomi.
Memasuki periode 2008 hingga 2012, sentimen positif masih cukup kuat, tetapi mulai diimbangi oleh nada netral dan sesekali negatif.
Tantangan implementasi UUPA, munculnya kasus pelanggaran HAM, dan ketegangan terkait pengelolaan sumber daya alam mulai mewarnai diskursus.
Baca juga: Pakar Ungkap Lima Alasan Mengapa Cat Lovers di Aceh Lebih Suka Pelihara Kucing Ras
Baca juga: Pesan Prabowo kepada TNI: Ingat, Kita Tentara Rakyat, Kita Siap Mati untuk Rakyat
Meskipun kekerasan bersenjata praktis tidak lagi terjadi, perbedaan tafsir antara pemerintah pusat dan daerah terkait kewenangan politik Aceh menjadi sumber gesekan.
Fase 2013 hingga 2018 menunjukkan meningkatnya sentimen netral.
Media dan publik mulai memandang perdamaian Aceh sebagai situasi normal yang tidak lagi menjadi berita utama, kecuali ketika muncul isu-isu tertentu seperti kontroversi bendera daerah yang menyerupai lambang GAM.
Pemberitaan lebih banyak berfokus pada dinamika politik lokal, terutama peran partai-partai lokal yang lahir dari transformasi politik mantan kombatan.
Pada periode terakhir, 2019 hingga 2025, sentimen positif dan netral cenderung berimbang, namun sentimen negatif meningkat tipis.
Hal ini dipicu oleh keluhan terkait ketimpangan pembangunan, konflik agraria yang belum tuntas, dan perdebatan politik yang menguji soliditas perdamaian.
Meskipun demikian, secara umum stabilitas keamanan tetap terjaga, menandakan keberhasilan jangka panjang dari kesepakatan Helsinki.
Jaringan Aktor dan Isu dalam Narasi Perdamaian
Peta jaringan aktor–isu yang dihasilkan dari analisis menunjukkan keterkaitan yang erat antara pemain utama dan topik yang mereka wakili.
GAM sering muncul dalam konteks “reintegrasi” dan “HAM”, menandakan bahwa narasi tentang mereka kini lebih banyak terkait dengan transformasi sosial dan politik pasca-konflik.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, terhubung kuat dengan isu “UUPA” dan “pembangunan”, mencerminkan tanggung jawab administratif dan ekonomi dalam menjaga perdamaian.
Baca juga: Profil Rachmat Fitri, Mantan Kadisdik Aceh Korupsi Poyek Wastafel Rp43 Miliar, Putra Asli Aceh Barat
Baca juga: Perantau Aceh di Malaysia Kumpulkan Donasi untuk Keluarga Syahrul yang Tewas Dikeroyok di Malaysia
Peran AMM sangat menonjol pada fase awal, terutama dalam isu pemantauan dan perlindungan HAM. CMI muncul sebagai fasilitator kunci dalam perundingan dan pemantauan internasional.
Sementara itu, “HAM” menjadi simpul penghubung yang sering mengaitkan isu agraria dan reintegrasi, menandakan bahwa persoalan hak warga tetap menjadi tantangan lintas sektor.
“Partai lokal” berjejaring erat dengan isu politik dan pembangunan, mengindikasikan pengaruh mantan kombatan dalam arena politik formal Aceh.
Struktur jaringan ini menggarisbawahi bahwa perdamaian Aceh adalah ekosistem kompleks yang melibatkan hubungan timbal balik antara aktor politik, lembaga internasional, isu hukum, dan masalah sosial-ekonomi.
Setiap elemen dalam jaringan ini mempengaruhi keberlanjutan damai baik secara langsung maupun tidak langsung.
Makna dan Pelajaran dari Analisis
Temuan ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan, narasi perdamaian Aceh dalam dua dekade terakhir didominasi oleh sentimen positif dan netral.
Meski ada fluktuasi, terutama pada isu-isu sensitif seperti agraria dan HAM, persepsi umum terhadap keberhasilan perdamaian tetap bertahan.
Peningkatan sentimen negatif di akhir periode bukanlah indikasi kegagalan, melainkan sinyal adanya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk memperkuat fondasi damai.
Peran pihak ketiga terbukti krusial pada fase awal, tetapi keberlanjutan perdamaian bergantung pada kapasitas aktor lokal untuk mempertahankan konsensus.
Isu-isu pasca-konflik yang masih terbuka harus diatasi dengan pendekatan yang mengutamakan keadilan sosial dan pemerataan pembangunan.
Baca juga: Profil Prajogo Pangestu, Konglomerat Indonesia Orang Terkaya di Asia Tenggara, Harta Rp 549 Triliun
Baca juga: Rekening Bank Ustaz Dasad Latif untuk Bangun Masjid Sempat Diblokir PPATK, Kini Sudah Aktif Lagi
Pengalaman Aceh memberikan pelajaran berharga bahwa perdamaian tidak cukup diukur dari ketiadaan kekerasan, tetapi juga dari kemampuan menciptakan tatanan sosial-politik yang inklusif dan adil.
Dua Dekade dan Jalan Panjang yang Masih Terbentang
Dua puluh tahun setelah MoU Helsinki, Aceh tetap menjadi contoh keberhasilan penyelesaian konflik melalui jalur perundingan yang melibatkan pihak internasional dan aktor lokal.
Analisis sentimen menunjukkan bahwa euforia awal perdamaian telah berevolusi menjadi narasi yang lebih seimbang, dengan dominasi sentimen positif yang diimbangi dengan kewaspadaan terhadap tantangan baru.
Peta jaringan aktor–isu memperlihatkan bahwa keberlanjutan perdamaian bergantung pada sinergi antara kepemimpinan politik, penegakan hukum, dan pembangunan ekonomi.
Bagi Aceh, tugas ke depan adalah memperkuat capaian politik dan keamanan dengan pemerataan kesejahteraan serta pemenuhan hak warga.
Bagi Indonesia, pengalaman ini menjadi cermin bahwa keberhasilan perdamaian memerlukan kombinasi komitmen politik, dukungan internasional, dan partisipasi aktif masyarakat.
Dua dasawarsa perjalanan damai Aceh membuktikan bahwa transformasi dari konflik menuju harmoni adalah mungkin, asalkan diiringi konsistensi, kepercayaan, dan kemauan bersama untuk menjaga perdamaian.(*)
*) PENULIS adalah peneliti bidang Data Sains dan Kemometri, sekaligus Dosen Departemen Kimia FMIPA USK. Email: elly.sufriadi@usk.ac.id.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca juga: Apa Itu Smiling Depression? Mengenal Gejala dan Cara Mengatasinya untuk Kesehatan Mental
Baca juga: PSAP Sigli Tetapkan 18 Pemain Tampil di Piala Soeratin U-17 Regional Aceh