KUPI BEUNGOH

Buku dan Membaca: Antara Cetak, Digital, dan Politik Jalan Tengah 

Editor: Muhammad Hadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Nurussalim Bantasyam,S.H, adalah Peminat Isu Literasi dan Pelaksana pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Banda Aceh

Oleh: Nurussalim Bantasyam,S.H*)

Sesuatu selalu diperoleh dan sesuatu selalu hilang ketika teknologi baru mengalahkan teknologi lama.

Demikian kata pakar media Marshall McLuhan, dalam bukunya “Gutenberg Galaxy” (1962). 

Dalam transisi dari gulungan (rotulus) ke kodeks, dari pena bulu yang dicelupkan ke dalam wadah tinta, ke penemuan mesin tik bergerak ke mesin tik, lalu ke komputer, sesuatu diperoleh dan sesuatu hilang.

Lantas, apakah kemunculan buku elektronik atau digital (e-book) akan menghilangkan keberadaan buku fisik atau cetak? Ataukah ada hal lain yang lebih penting untuk kita khawatirkan?  

Politik Jalan Tengah

Bagi yang terlanjur jatuh cinta pada media kertas, sebuah ungkapan khas Betawi kiranya cukup mewakili: buku cetak “tak ada matinya." 

Umberto Eco, cendekiawan dan novelis Italia, misalnya, meyakini buku cetak akan tetap ada sebagaimana keberadaan sendok, gunting, palu, atau roda. 

Senada dengan Eco, Fernando Baez, pakar perbukuan dan perpustakaan Venezuela, mengatakan bahwa jika pun buku cetak lenyap, maka tidak akan ada manusia tersisa yang mengetahuinya.

Namun, meramalkan masa depan merupakan pekerjaan sulit. 

Kita bisa belajar dari Johannes Trithemius, penulis buku “De Laude Scriptorum Manualium” (Pujian bagi Para Penulis Tangan), yang menubuatkan buku cetak tidak akan pernah bisa menggantikan naskah tulisan tangan.

Johannes Gutenberg, melalui mesin cetaknya, kemudian membuktikan Trithemius salah.    

Seperti pergulatan tentang keberadaan AI (Artificial Intelegency-Kecerdasan Buatan), perdebatan tentang buku cetak versus buku digital terus berlangsung. 

Baca juga: Bedah Buku “Jalan Reintegrasi Gerilyawan GAM”, Ketua BRA Tekankan Pentingnya Pendidikan

Berbagai penelitian dan pandangan menggarisbawahi kompleksitas isu ini, memperlihatkan jawaban pertanyaan di atas adalah tidak sederhana.

Di tengah perdebatan itu, Robert Darnton dan Maryanne Wolf menawarkan pendekatan yang lebih moderat.

Pertanyaan keduanya, bukan mana yang lebih unggul atau apakah buku digital akan menghilangkan buku cetak. 

Melainkan, seperti “politik jalan tengah” (the middle path), yakni bagaimana kita dapat mengintegrasikan keduanya untuk memperoleh hasil terbaik. 

Model Hybrid 

Robert Darnton adalah sejarawan, pakar sejarah buku, dan direktur Perpustakaan Universitas Harvard, Amerika  (2007-2016). 

Dalam bukunya, “The Case for Books: Past, Present, Future” (2009), Darnton menyebutkan bahwa kemajuan teknologi telah mendorong pembelajaran melalui buku tersedia untuk semua orang—atau, setidaknya, bagi yang memiliki akses internet. 

Menurutnya, pencapaian hari ini adalah langkah besar sekaligus, prediksinya, merupakan akhir dari proses demokratisasi pengetahuan—yang dimulai dari penemuan tulisan hingga kemunculan internet. 

Dalam konteks ini, kata Darnton, kita berada di sebuah “momen penting" (hinge moment) dalam sejarah.

Namun, tegasnya, kita tidak sedang berhadapan dengan opsi biner, keharusan memilih antara cetak atau digital. 

Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana kita menggabungkan keunggulan keduanya.

Sebagai sejarawan yang memiliki pemahaman mendalam tentang evolusi buku dan dampaknya terhadap pengetahuan dan peradaban, Darnton tidak ingin buku cetak dihilangkan. 

Baca juga: Markas Besar Marsose di Tangse Dihuni Pasukan Khusus dan Kejam, Tim Unsam Ungkap Hasil Penelitian

Namun, ia juga realistis bahwa keberadaan buku digital adalah sebuah keniscayaan.

Sebagai kompromi, Darnton mengusulkan pendekatan hybrid: buku tidak hanya ada dalam bentuk cetak atau digital saja, tetapi keduanya sekaligus (bukunya, "The Case for Books,” dirilis serentak dalam format cetak dan digital). 

Keberadaan versi cetak adalah untuk memastikan supaya pengalaman sensorik, seperti memegang buku, membalik halaman, dan mencium aroma kertas, tetap terjaga. 

Selain dukungan membaca mendalam yang lebih optimal (deep reading), ini adalah beberapa aspek fisikalitas yang sangat dinikmati oleh pecinta buku cetak, yang membentuk pengalaman membaca mereka. 

Pada saat yang sama, pembaca juga dapat memanfaatkan berbagai keunggulan versi digital. 

Misalnya, penyebaran informasi menjadi sangat cepat—buku digital dapat diakses dari mana saja dengan jarak beberapa klik, sehingga bisa memangkas waktu dan biaya. 

Kemampuan pencarian (searchability) yang memungkinkan pembaca menemukan informasi dalam waktu singkat. 

Dan, terutama portabilitas, di mana ribuan buku dapat disimpan dalam satu perangkat kecil, memungkinkan pembaca membawa seluruh perpustakaan mereka ke mana pun. 

Baca juga: KPI Aceh Gulirkan Literasi Media Go to School, Ajak Pelajar Bijak Bermedsos

Singkatnya, model hybrid mampu menciptakan keseimbangan yang optimal. 

Pembaca tidak perlu mengorbankan pengalaman membaca buku cetak demi efisiensi modern yang ditawarkan format digital, atau sebaliknya.

 Ini juga memberikan fleksibilitas bagi pembaca untuk memilih mana yang terbaik sesuai preferensi, kebutuhan, dan tujuan membaca mereka ketika itu. 

Secara keseluruhan, visi Darnton adalah mendorong dunia buku untuk bergerak maju dengan menggabungkan keunggulan kedua format, alih-alih melihatnya sebagai dua entitas yang bersaing. 

Pembaca Modern  

Adapun Maryanne Wolf adalah Direktur Pusat Disleksia, Pembelajar Beragam, dan Keadilan Sosial di UCLA.

Sebelumnya ia juga menjabat sebagai Direktur Pusat Penelitian Membaca dan Bahasa di Universitas Tufts, Amerika. 

Dalam bukunya, “Reader, Come Home: The Reading Brain in Digital World” (2018), Wolf merekomendasikan pendekatan seimbang antara format cetak dan digital.

Ia berpendapat bahwa jika kita berangkat dari karakteristik terbaik keduanya, maka kita dapat menciptakan para generasi muda “dwiliterasi” (istilah saya, “pembaca hybrid” atau “pembaca modern”) yang fasih membaca di kedua format. 

Wolf mengatakan, seperti penutur dua bahasa (bilingual), kita perlu melatih anak-anak kemampuan “beralih secara fleksibel" di antara kedua format, dengan mengetahui tentang batasan, kemungkinan, dan karakter unik masing-masing media. 

Baca juga: 1.000 Buku Bantuan Perpusnas RI Disebarkan Dispersip Pidie ke Perpustakaan Gampong

Anak-anak harus diajarkan bahwa masing-masing format, seperti setiap bahasa, memiliki aturan dan karakteristik tersendiri, yang mencakup tujuan, kecepatan, dan ritme. 

Bahwa meskipun format digital menawarkan akses yang lebih cepat, hal-hal seperti perhatian, mengingat, mengikuti urutan, menghubungkan ide, menarik makna, menyimpulkan, melakukan analisis, evaluasi, dan refleksi, tetap penting, baik saat membaca digital maupun cetak.

Selain pendampingan orang tua dalam proses membaca—menurut Wolf, buku cetak sangat krusial pada masa awal pendidikan, ia menekankan pentingnya dukungan sistem pendidikan yang mengajarkan anak-anak komponen utama membaca mendalam. 

Seperti perhatian, memori, kemampuan mengikuti urutan informasi, inferensi (kemampuan menyimpulkan), analisis kritis, dan refleksi.

Penutup

Di era digitalisasi, tidak ada yang tidak tersentuh, termasuk buku cetak. 

Namun, sejauh ini, kehadiran buku digital tidak menghilangkan buku cetak, tetapi hanya mencapai taraf mengubah cara informasi dan pengetahuan dibuat, ditampilkan, dan disebarluaskan, yang tentu saja positif untuk mendorong demokratisasi pengetahuan. 

Di Indonesia sendiri, berdasarkan survei GoodStats dari Januari s.d. Februari 2025, dengan 1.000 responden dari berbagai kota, 79 persen responden memilih buku cetak, sedangkan 18,5 persen memilih format digital. 

Artinya, buku cetak tetap memiliki tempat istimewa di hati pembaca Indonesia.

Dari segi format, sebenarnya kita tidak perlu terlalu mempermasalahkan antara buku cetak dan digital, karena keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, yang sedianya bisa saling menutupi dan melengkapi.  

Baca juga: Aceh Mandarin Camping 2025: USK dan Taiwan Bersatu Tingkatkan Literasi Global

Kekwatiran terbesar kita adalah pada budaya membaca itu sendiri. Bagaimana era digital, yang telah membuka akses luar biasa kepada pengetahuan, malah membuat kegiatan membaca—apalagi membaca mendalam, dan bacaan serius, semakin sedikit mendapat perhatian. 

Meminjam ungkapan Ustaz Abdul Somad, “bukan orang bertato tapi shalat, melainkan orang tidak bertato tapi tidak shalat.” 

Persoalan kita bukan pada cetak atau digital, melainkan pada budaya membaca kita yang makin hari makin makin tergerus.

*) PENULIS adalah Peminat Isu Literasi dan Pelaksana pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Banda Aceh

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkini