ASN Kemenag Ditangkap Densus, Ken Setiawan: Screening Ulang Tes Wawasan Kebangsaan Seluruh Pegawai
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Pendiri Pusat Rehabilitasi Korban Negara Islam Indonesia (NII) atau NII Crisis Center, Ken Setiawan, mengaku prihatin atas penangkapan dua aparatur sipil negara (ASN di Aceh oleh Densus 88.
Di mana salah satu yang ditangkap adalah seorang pegawai Kementerian Agama (Kemenag).
Dua orang ASN yang ditangkap Densus 88 di Banda Aceh pada Selasa (5/8/2025) berinisial ZA (47) dan MZ (40), yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka.
Keduanya diduga terlibat dalam kelompok NII faksi MYT.
Baca juga: ASN Aceh Ditangkap Densus 88, Ken Setiawan: Kecewa dengan Panji Gumilang, Lalu Bergabung ke MYT
Terkait penangkapan ini, Ken Setiawan mengatakan, Kemnterian Agama (Kemenag) seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas radikalisme dan terorisme, tapi justru pegawainya malah ditangkap Densus 88.
Ken menilai perlu dilakukan screening atau pemeriksaan ulang melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap seluruh pegawai Kemenag guna mencegah infiltrasi paham radikal.
Ia mengingatkan kasus TWK di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pernah membuat 75 pegawai tidak lolos, dan 58 di antaranya diberhentikan, dari total 1.349 peserta tes.
"Apalagi Kemenag jumlah pegawainya mencapai 235.343 orang di seluruh Indonesia. Ini sangat berbahaya karena tugas Kemenag adalah moderasi beragama," ujar Ken, Selasa (12/8/2025).
Ken juga mengungkap pernah menemukan pegawai Kemenag yang kerap melontarkan ujaran kebencian serta mengkritik kebijakan pemerintah secara tidak proporsional.
Menurutnya, hal tersebut berisiko karena pegawai Kemenag adalah abdi negara yang seharusnya menjaga persatuan dan toleransi.
“Ada pegawai Kemenag yang saya temui melakukan ujaran kebencian dan nyinyirin kebijakan pemerintah, kan bahaya sebab pegawai kemenag digaji oleh negara,” ujarnya.
Disamping itu, kata Ken, meski NII sudah di tetapkan sebagai Daftar Terduga Teroris dan organisasi teroris (DTTOT) oleh negara, namun deredikalisasi terhadap eks NII belum berjalan.
“Tapi deradikalisasi eks NII belum jalan, hanya berlaku bagi eks NII yang telah ditangkap Densus 88. Sementara mantan NII jumlahnya ribuan dibiarkan tak ada yang peduli,” pungkanya.
Minta Masyarakat Dukung Upaya Densus 88
Pendiri Pusat Rehabilitasi Korban Negara Islam Indonesia (NII), Ken Setiawan, meminta masyarakat mendukung upaya Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri dalam menindak terduga teroris.
Menurutnya, orang yang terpapar paham radikalisme dan terorisme ibarat orang tanpa gejala (OTG) yang tetap berbahaya bagi lingkungan sekitar.
“Ini justru menurut saya bahaya. Karena dia menyampaikan pahamnya (radikalisme) di sekitar kita. Mereka masuk sebagai organisasi masyarakat, mereka masuk sebagai kegiatan-kegiatan yang seolah-olah membantu seperti pelatihan, entrepreneur,” ujar Ken, Senin (11/8/2025).
“Tapi ujung-ujung nanti menjelek-jelekan negara, menjelek-jelekin aparat. Karena (menurut mereka) negara ini tidak diproses secara hukum Tuhan, hukum Allah, maka harus digulingkan,” sambungnya
Pernyataan ini disampaikan kepada Serambinews menanggapi penangkapan dua ASN di Aceh, berinisial MZ (40) dan ZA (47), oleh Densus 88 pada Selasa (5/8/2025) di Banda Aceh,
Keduanya diduga terlibat jaringan Negara Islam Indonesia (NII) kelompok MYT.
Ken menjelaskan, OTG dalam konteks radikalisme justru berbahaya karena penyebaran pahamnya dilakukan secara halus melalui kegiatan yang tampak positif seperti pelatihan atau wirausaha.
Menurut Ken, langkah penangkapan yang dilakukan Densus 88 sudah tepat karena keduanya memegang peran strategis dan berpotensi melakukan aksi teror.
“Itu kan Komando Perang, kayak pimpinan ya (otomatis berbahaya). MZ itu mantan anggota NII KW 9 Alzaytun pimpinan Panji Gumilang yang kecewa, lalu gabung ke NII MYT. Dan ZA ini informasinya bendahara” ujarnya.
Ken mengatakan, KPWB ini memiliki peran sebagai komandan yang mengorganisir kelompok-kelompok yang bertindak sebagai eksekutor.
“Ini kan berbahaya. Makanya ini mungkin menjadi alasan Densus 88 mengambil tindakan karena dia berpotensi untuk melakukan tindakan teror,” sebutnya.
Ia menjelaskan, NII ini sudah ditetapkan oleh negara sebagai Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT).
Bisanya, kata Ken, penindakan yang dilakukan oleh Densus 88 memang sudah pada tahap orang yang besarnya atau petingginya.
“Kalau dalam istilah Densus 88 itu preventive strike, yang sudah mau beraksi. Kalau belum mungkin masih dalam monitoring. Tapi menurut saya kalau nggak diambil (tindakan) bisa jadi berbahaya. Itu juga jadi persoalan,” jelasnya.
Ia menambahkan, Densus 88 jarang salah sasaran dalam penangkapan karena setiap operasi dilakukan berdasarkan identifikasi dan bukti yang kuat.
“Saya rasa aparat sangat selektif ya. Karena kelompok-kelompok ini sudah teridentifikasi. Dan jarang sekali yang ditangkap sama Densus 88 itu meleset,” jelasnya.
Densus 88: Ini Bukan Penangkapan Instan
Kepala Densus 88, Sentot Prasetyo menjelaskan bahwa proses hukum terhadap dua tersangka ini sudah melalui tahapan panjang, bukan penangkapan instan.
Hal itu disampaikannya saat berdialog bersama Wakil Menteri Agama (Wamenag) Romo Muhammad Syafi’I pada Kamis (7/8/2025) di Kantor Lemdiklat Polri, Ciputat.
Ia juga menegaskan bahwa langkah yang diambil merupakan bagian dari strategi pencegahan dini terhadap potensi teror.
"Penangkapan dalam kasus ini juga bukan proses instan, melainkan sudah melalui proses panjang. Kami berharap, pada akhirnya semua akan terungkap dengan jelas," jelas Kadensus.
"Perlu dipahami bahwa langkah-langkah yang kami ambil ini merupakan bentuk pencegahan,”
“Karena itu, yang kami antisipasi adalah unsur-unsur persiapan dan perencanaan dari pihak-pihak yang kami nilai berpotensi melakukan tindakan teror,”
“Tahapan-tahapan yang kami lakukan sejauh ini merupakan bagian dari semangat pencegahan itu sendiri," tambahnya.
Kadensus juga menyampaikan bahwa Densus 88 saat ini menerapkan dua pendekatan dalam penanganan ekstremisme dan radikalisme, yaitu pendekatan keras (hard approach) dan pendekatan lunak (soft approach).
Dalam konteks pendekatan lunak, Densus 88 bekerja sama dengan Kementerian Agama untuk menyusun kurikulum keagamaan yang moderat, termasuk dengan Direktorat Pendidikan Pondok Pesantren.
"Harapannya, orang-orang yang sebelumnya terlibat dalam kelompok seperti JI (Jamaah Islamiyah) atau NII (Negara Islam Indonesia) dapat bertransformasi,
dan beralih ke kelompok-kelompok Islam yang lebih moderat, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dengan begitu, pemahaman keagamaan mereka bisa diperbaiki," kata Kadensus.
(Serambinews.com/Agus Ramadhan)
Baca dan Ikuti Berita Serambinews.com di GOOGLE NEWS
Bergabunglah Bersama Kami di Saluran WhatsApp SERAMBINEWS.COM