Laporan Indra Wijaya | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Kini sudah dua dekade damai Aceh pasca konflik yang berkepanjangan dengan Pemerintah RI. Ribuan nyawa terbunuh, rumah rusak, pendidikan mandek, hingga pembangunan di Aceh tak berjalan kala itu.
Masyarakat dihantui rasa ketakutan akan terkena timah panas. Beruntung konflik berkepanjangan itu akhirnya mereda, usai Aceh diluluhlantakkan oleh bencana gempa dan tsunami 2004 silam.
GAM dan Pemerintah RI kemudian sepakat berdamai pada tahun 2006 yang ditandai dengan penandatanganan MoU Helsinki. Kini 20 tahun pasca Aceh Damai, perubahan sudah tampak nyata. Masyarakat kini dapat bergerak bebas tanpa rasa takut. Pendidikan dapat dirasakan seluruh anak-anak hingga pelosok Aceh.
Provinsi Aceh kini tak kelam seperti 20 tahun lalu, rakyat hidup lebih leluasa tanpa dihantui rasa takut oleh bedil dan suara tembakan.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal Ali atau Lem Faisal, memaknai 20 tahun damai Aceh dengan rasa syukur kepada Allah SWT. Pasalnya, dalam konteks kebatinan, kemerdekaan perasaan sungguh sangat luar biasa dirasakan masyarakat.
“Kalau dulu kita ada rasa was-was dalam hati kemana-mana, sekarang itu sudah tidak ada apapun lagi,” katanya Lem Faisal saat dihubungi Serambi, Kamis (14/8/2025).
Meski dalam konteks kesejahteraan, saat ini masih ada yang hidup dalam garis kemiskinan. Akan tetapi rasa syukur tersebut tak boleh pudar dari hati masyarakat Aceh.
Namun menurut pria yang juga akrab disapa Abu Sibreh tersebut, terdapat dua tantangan dalam memaknai 20 tahun damai Aceh. Tantangan pertama yakni bersifat eksternal. Dimana saat ini masih ada beberapa turunan dari MoU Helsinki dan undang-undang nomor 11 sebagai implementasi penjabaran dari MOU Helsinki itu belum 100 persen terealisasi.
Ada dua poin krusial yang harus segera direalisasikan dalam butir-butir MoU Helsinki tersebut. Pertama adalah soal pembagian hasil alam Aceh 70-30 dan juga terkait zakat menjadi pengurangan pajak.
Di mana hingga poin zakat sebagai pengurangan pajak tersebut belum terealisasi. Padahal kata Abu Sibreh, Aceh punya Baitul Mal yang bekerja sangat profesional dalam mengumpulkan dan menyalurkan zakat.
“Sehingga ini perlu menjadi perhatian pemerintah pusat dan Aceh. Karena ini merupakan bagian dari butir MoU Helsinki,” jelasnya.
Karenanya, ia berharap kepada pemerintah Republik Indonesia agar seluruh turunan yang terkait dengan MoU Helsinki itu diselesaikan dengan secepat-cepatnya. Lalu tantangan kedua adalah dari internal.
Hilangkan Rasa Tamak
Ketua MPU Aceh, Tgk H Faisal Ali menggaris bawahi tantangan kedua tersebut kepada pemimpin di Aceh yang memiliki tanggung jawab. Ia menekankan agar para eksekutif, legislatif, yudikatif untuk memperbanyak sifat kasih sayangnya.