Akibatnya, sebagian kepemimpinan terjebak pada pola konservatif, pragmatis, dan kurang inovatif, meski ada pula individu yang menjadikan pengalaman pahit itu sebagai energi untuk melakukan perubahan.
Saya ingin mengatakan, jangan terlalu berharap banyak pada kepemimpinan generasi ini.
Meski demikian, peran mereka sangat besar dalam menentukan kualitas generasi selanjutnya yakni generasi Z (lahir 1997–2012) dan generasi Alpha (lahir 2013–sekarang).
Generasi Aceh yang lahir pada 1980–1990-an kini telah menjadi orangtua yang memiliki beban ganda: memulihkan trauma sendiri sekaligus menyiapkan bekal yang cukup untuk generasi penerus — generasi yang kelak akan memimpin Aceh.
Generasi Pasca-Damai: Harapan
Mereka yang lahir setelah perjanjian damai kini berusia sekitar 20 tahun, banyak yang duduk di bangku kuliah. Mereka tumbuh tanpa konflik, menikmati kemajuan teknologi, pendidikan yang lebih baik, dan akses informasi yang luas. Dunia mereka penuh warna, sangat berbeda dari orang tua dan kakek-neneknya yang hidup di bawah bayang-bayang senjata. Namun, pengalaman buruk orangtua berpotensi memengaruhi kehidupan mereka jika rantai trauma tidak diputuskan.
Namun, di balik segala kemudahan yang dinikmati generasi pasca-damai, mereka juga menghadapi tantangan yang tidak ringan. Persaingan kerja semakin ketat, tuntutan keterampilan semakin tinggi, dan perubahan global bergerak begitu cepat.
Di satu sisi, mereka memiliki peluang besar untuk berkembang tanpa hambatan konflik, di sisi lain, mereka harus membuktikan bahwa generasi yang tumbuh di era damai mampu memutus rantai kemiskinan, mengelola sumber daya secara bijak, dan menciptakan inovasi yang relevan dengan zaman.
Keberhasilan mereka akan menjadi bukti bahwa perdamaian tidak hanya menenangkan senjata, tetapi juga mengangkat martabat dan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Setelah 20 tahun perdamaian, Aceh masih menjadi provinsi termiskin di Sumatera, sebuah fakta yang harus diterima dengan lapang dada, mengingat selama dua dekade ini generasi Aceh masih bertautan erat dengan era konflik.
Meski demikian, Aceh saat ini jauh lebih baik dibandingkan masa lalu. Perlahan, Aceh mulai menapaki tangga kemajuan, baik di bidang pendidikan, ekonomi, maupun kesehatan. Semua butuh proses, yang terpenting adalah konsistensi untuk terus melaju.
Momentum 20 tahun damai Aceh tidak boleh berlalu begitu saja sebagai seremonial tahunan. Peringatan ini harus menjadi titik refleksi bersama sekaligus ajakan nyata untuk menyiapkan generasi emas Aceh yang mampu bersaing di tingkat nasional bahkan global, karena di pundak mereka masa depan Aceh kita wariskan.(*)
*) PENULIS 10 tahun menjadi jurnalis di Harian Kompas, kini mengasuh media startup digital Bisnisia.id. Warga Aceh Utara, korban konflik yang kini menetap di Aceh Besar.
email: zoelmasry@gmail.com