Jurnalisme Warga

Antara Robbins dan Rembuk Warga

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof. Dr. JASMAN J. MA’RUF, M.B.A.,  Profesor Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh

Prof. Dr. JASMAN J. MA’RUF, M.B.A.,  Profesor Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh

"Sudah terlalu lama kita membaca tentang orang lain, dan lupa menuliskan diri kita sendiri."

Di ruang-ruang kuliah bisnis dan ekonomi di seluruh Indonesia, nama Robbins, Griffin, dan Stoner telah menjadi mantra klasik. Mahasiswa mencatat dengan tekun, dosen menjelaskan dengan tenang, dan ujian menguji seberapa dalam mahasiswa memahami planning, organizing, actuating, dan controlling (POAC), teori dua faktor Herzberg, atau jalur komunikasi dalam struktur formal.

Tak ada yang salah dengan semua itu. Buku-buku mereka teruji. Teorinya konsisten. Bahasanya rapi. Akan tetapi, seperti pepatah tua: apakah semua yang berkilau pasti cocok dikenakan? Karena di banyak kelas, yang dipelajari adalah organisasi global, sedangkan yang dihadapi adalah lembaga adat, koperasi, pesantren, hingga BUMDes yang dikelola dengan rasa, bukan sekadar rencana strategis.

Manajemen, ilmu netral?

Ilmu manajemen sering dianggap universal. Akan tetapi sesungguhnya, ia lahir dari nilai, tumbuh dari kebiasaan, dan berjalan di atas budaya. Di ruang kuliah, kita diajari bahwa manajemen adalah tentang efisiensi, rasionalitas, dan hasil. Bahwa kepemimpinan adalah soal pengaruh dan visi. Bahwa organisasi harus rapi, terstruktur, dan mengalir seperti mesin. Namun, jarang sekali kita diajak bertanya: dari nilai mana semua itu lahir?

Teori manajemen modern berkembang di abad ke-20 di tengah revolusi industri Eropa, rasionalitas ekonomi Taylorisme dan Fordisme, serta budaya individualistik dan kompetitif Amerika Serikat. Maka, teori-teori itu pun bernapas dalam nilai efisiensi kuantitatif, kepemimpinan visioner yang agresif, komunikasi eksplisit dan langsung, serta struktur organisasi formal yang datar.

Semuanya masuk akal di tempat asalnya.  Namun, belum tentu masuk akal—juga belum tentu cocok—di tempat lain. Henry Mintzberg dalam The Nature of Managerial Work (1973) mengingatkan, “Kita sedang membohongi diri sendiri jika menganggap bahwa kerangka kerja manajemen kita tidak dipengaruhi oleh budaya.”

Di Indonesia, manajemen tidak tumbuh dari logika efisiensi, melainkan dari logika hubungan, kehormatan, dan rasa. Kita adalah masyarakat ’high-context’, seperti disebut Edward T. Hall, tempat makna tak selalu diucap, tapi dipahami dalam jeda, nada, dan sikap. Kita bicara lewat isyarat, menegur dengan sindiran, memimpin lewat keteladanan, bukan instruksi.

Organisasi bukan mesin

Gareth Morgan dalam Images of Organization memperingatkan, "Metafora yang kita gunakan untuk memahami organisasi membentuk cara kita bertindak di dalamnya."

Jika kita terus memandang organisasi sebagai mesin, maka kita akan mengukur keberhasilan hanya dengan angka dan grafik.

Kita lupa bahwa organisasi juga bisa dipahami sebagai keluarga dengan relasi kompleks, sebagai budaya yang penuh simbol, atau sebagai komunitas dengan rasa memiliki yang dalam. Di Indonesia, organisasi lebih menyerupai komunitas daripada mesin. Lebih banyak “rasa” daripada “rumus”.

Jadi, bukan teori yang salah. Namun, sering kali, kita tidak sadar bahwa yang kita ajarkan adalah cermin budaya orang lain. Geert Hofstede, dalam riset lintas budayanya, mencatat bahwa Indonesia memiliki skor tinggi dalam ‘power distance’. Artinya, masyarakat kita terbiasa hidup dalam struktur bertingkat: yang tua dihormati, yang lebih tinggi dijaga martabatnya, dan yang berada di bawah belajar menunduk sebelum bicara.

Kita juga tinggi dalam ‘uncertainty avoidance’, bukan karena takut gagal, melainkan karena stabilitas dianggap aman dan perubahan yang terlalu cepat sering dicurigai sebagai bentuk ketidaksopanan terhadap tatanan.

Halaman
12

Berita Terkini