Jurnalisme Warga

Antara Robbins dan Rembuk Warga

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof. Dr. JASMAN J. MA’RUF, M.B.A.,  Profesor Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh

Skor individualisme Indonesia tergolong rendah. Akan tetapi, bukan berarti kita tak bisa mandiri. Sejak kecil, kita diajari bahwa keselamatan satu orang bukanlah kemenangan dan keberhasilan sejati adalah ketika semua bisa pulang dengan wajah cerah.

Indonesia juga rendah dalam maskulinitas. Kita lebih menyukai harmoni daripada kompetisi terbuka. Kemenangan bukan hanya soal hasil, tapi juga tentang cara mencapainya: tanpa meninggalkan, tanpa menyikut, dan tetap menjaga muka orang lain.

Ketika teori manajemen Barat mengagungkan transparansi, kompetisi, dan kepemimpinan partisipatif, mereka lupa bahwa di tempat kita, bicara terlalu jujur bisa dianggap kurang ajar, menyampaikan ide terlalu cepat bisa dinilai tak tahu diri, dan mengambil keputusan tanpa diskusi bisa dianggap melangkahi yang dituakan.

Kita hidup dalam ekosistem organisasi yang tidak selalu rasional, tapi bukan berarti irasional. Ia bekerja dengan logika yang berbeda: logika rasa, relasi, dan ruang diam.

Bayangkan seorang manajer muda lulusan program MBA, diajari untuk “speak up”, “take charge”, dan “challenge the status quo”, lalu ditempatkan di kantor pemerintah daerah, diminta menyusun reformasi birokrasi. Maka, ia pun membuka rapat dengan kritik tajam, mengusulkan restrukturisasi, dan menutup dengan kalimat tegas: Mari kita geser semua yang tidak efektif. Isi pidatonya mungkin benar, tapi aranya keliru.

Dalam sistem nilai yang tidak tertulis, ia telah melanggar batas yang tak pernah diajarkan di modul bahwa dalam organisasi Indonesia, keputusan tidak hanya bersifat rasional, tapi juga ritual. Tidak hanya efisien, tapi juga etis. Tidak hanya logis, tapi juga harus terasa pantas.

Manajemen, di sini, adalah seni menavigasi peran, rasa, dan relasi dalam ruang sosial yang tak bisa dijelaskan semata dengan angka. Namun, itu bukan berarti kita iarus menolak semua yang datang dari luar.

Model hibrida

Teori Barat tetap relevan, asalkan ditanam dengan bijak di tanah kita sendiri. Pengambilan keputusan berbasis data bisa dikombinasikan (secara hibrida) dengan musyawarah mufakat. Balanced Scorecard bisa diberi dimensi nilai sosial, loyalitas tim, dan harmoni. Analisis SWOT bisa dipadukan dengan rembuk warga. Teori motivasi Herzberg bisa diperkaya dengan silaturahmi, pengabdian, dan niat ibadah; motivasi yang sering jadi fondasi kerja di organisasi sosial dan keagamaan kita.

Pertanyaannya kini bukan lagi, apakah teori manajemen Barat salah. Akan tetapi, di mana letak Indonesia dalam kampus dan silabus? Mengapa mahasiswa bisnis di Sumatra mempelajari Wal-Mart, tapi tidak pernah meneliti koperasi petani di kampungnya sendiri? Mengapa mahasiswa manajemen di Jogja hafal struktur Amazon, tapi tak pernah tahu bagaimana pesantren mengelola ribuan santri dengan nilai dan efisiensi?

Tulis ulang, bangun ulang

Sudah waktunya buku teks manajemen kita diberi napas lokal. Bukan hanya agar terasa dekat, tapi agar punya akar. Bukan hanya meniru struktur organisasi multinasional, tapi memahami bahwa masyarakat kita telah lama menjalankan praktik manajerial, tanpa pernah menyebutnya begitu. Kita perlu menulis ulang. Mengembangkan. Mengintegrasikan yang global dan menyadari yang lokal. Karena, seperti ditulis Edgar Schein dalam Organizational Culture and Leadership, “Budaya bukan sekadar salah satu variabel dalam manajemen. Budaya adalah inti, tempat seluruh proses manajemen berlangsung."

Budaya kita bukan beban. Ia adalah sumber ilmu yang belum diberi nama. Maka, jika ingin membentuk pemimpin sejati, ajarkan mereka teori, lalu bawa mereka menyentuh Bumi, tempat manajemen sebenarnya telah lama hidup.

Berita Terkini