Kasus ini sangat memprihatinkan, karena melibatkan hubungan ayah dan anak. Kami akan menangani perkara ini secara profesional sesuai hukum yang berlaku, dan penyelidikan masih terus dilakukan untuk mendalami motif di balik peristiwa tragis ini. Aris Cai Dwi Susanto, Kapolres Bener Meriah
SERAMBINEWS.COM, REDELONG - Seorang pemuda warga Kampung Bintang Berangun, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah berinisial TI (30), harus meregang nyawa di tangan ayah kandungnya. Korban meninggal dunia usai dibacok berkali-kali oleh ayah kandung berinisial SA (48) dalam tragedi yang terjadi pada Jumat (15/8/2025) sekira pukul 19.00 WIB. Peristiwa memilukan ini berawal ketika warga mendengar keributan dari rumah korban yang langsung melapor kepada perangkat dusun.
Tak lama, imam dusun bersama kepala dusun kemudian mendatangi lokasi dan mereka mendengar pelaku menghubungi keluarganya sambil menangis.
Dalam telepon itu, pelaku mengaku telah melukai anaknya. Tak lama setelah itu, pelaku menutup pintu rumah dan pergi dengan sepeda motor menuju ke Polres Pintu Rime Gayo. Sementara korban ditemukan dalam kondisi sudah tidak bernyawa, dengan luka bacok di bagian kepala, badan, dan tangan. Barang bukti berupa sebilah parang yang masih berlumuran darah kini berhasil diamankan oleh pihak kepolisian. Kapolres Bener Meriah AKBP Aris Cai Dwi Susanto, S.I.K menyampaikan bahwa pelaku berhasil diamankan tidak lama setelah kejadian. Saat ini pelaku sudah berada di Mapolres Bener Meriah untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
"Kasus ini sangat memprihatinkan, karena melibatkan hubungan ayah dan anak. Kami akan menangani perkara ini secara profesional sesuai hukum yang berlaku, dan penyelidikan masih terus dilakukan untuk mendalami motif di balik peristiwa tragis ini," ungkap Kapolres
Sementara di kampung Bintang Berangun TI dikenal oleh warga setempat dengan pribadi yang tertutup.
Karena jarang bersosialisasi bersama masyarakat, terkhusus para pemuda di kalangannya. "Dia ini baru dua tahun lah tinggal di sini, duluan ayahnya, terus selama di Kampung jarang sosialisasi, berbeda dengan ayahnya yang sangat aktif di kegiatan masyarakat," ujar Haliyansyah, salah satu warga setempat saat ditemui di lokasi pada Sabtu (16/8/2025).
Lantas selama tinggal bersama sang ayah, warga juga kerap mendengar keributan antara keduanya, namun kebanyakan sang ayah yang lebih mengalah. "Sering kami dengar keributan, cuma cekcok mulut biasa, ayahnya yang selalu mengalah dan pergi saat keributan terjadi," sebutnya.
Di lain sisi berdasarkan keterangan keluarga, pelaku SA merupakan korban trauma konflik Aceh. Bahkan ia sempat dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Medan Sumatera Utara pada tahun 2003 silam akibat trauma tersebut. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh mantan Panglima GAM Wilayah Linge yang juga Deputi 1 Badan Reintegrasi (BRA), Fauzan Azima.
Fauzan Azima yang juga famili pelaku bercerita bahwa tersangka SA dan anaknya TI pernah tinggal bersama dirinya beberapa tahun lalu pascadamai Aceh. Awalnya SA tinggal di Kampung Jamur Atu, Kecamatan Mesidah, Bener Meriah. Kemudian pada tahun 2000, SA bersama istrinya dan anaknya Ti, meninggalkan kampung halaman karena mendapat teror dari orang tidak dikenal.
"Dulu itu, ada kasus pembunuhan di Kampung Jamur Atu dalam kondisi mengenaskan, korbannya tak lain adalah tetangganya, karena itu awalnya membuat SA jadi trauma," kenang Fauzan.
Lalu, saat pulang pada malam terakhir acara khanduri korban pembunuhan itu, tiba-tiba di depan halaman rumahnya SA sudah menunggu seseorang yang tidak dikenal, bahkan melakukan ancaman terhadap dirinya.
Karena itu, keesokan harinya keluarga SA langsung pindah rumah menuju rumah ibunya di Kampung Mutiara Baru, Kecamatan Bukit, Bener Meriah (Kampung Berghendal). Kemudian sejak tinggal di Bergendal, sikapnya SA dinilai sudah mulai ada tanda-tanda keanehan. Dimana, SA mulai merasa ketakutan ketika mendengar suara mobil atau sepeda motor yang melintas di luar rumah, karena ia merasa selalu ada orang yang ingin membunuhnya.
Kala itu, prilaku SA dari hari ke hari semakin mengkhawatirkan, bahkan tidak jarang dengan berani melakukan tindak kekerasan terhadap istrinya. "Lantas, pada tahun 2003, keluarganya memutuskan untuk membawa SA berobat ke Rumah Sakit Jiwa di Medan, Sumatera Utara," ungkap Fauzan.
Saat di rumah sakit, kata Fauzan lagi, kepada dokter di RSJ itu SA menceritakan semua peristiwa yang dialaminya, sedangkan dokter hanya memberikan resep obat, namun demikian tidak mengurangi rasa traumanya.