20 Tahun MoU Helsinki, Prof Humam: Aceh Berhenti Berdarah, Tidak Afghanistan, Belum Irlandia Utara

Penulis: Agus Ramadhan
Editor: Muhammad Hadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof Ahmad Humam Hamid dalam diskusi yang digelar oleh Aceh Diaspora di Hotel Ambhara, Jakarta, Rabu (20/8/2025).

20 Tahun MoU Helsinki, Prof Humam: Aceh Berhenti Berdarah, Tidak Afghanistan, Belum Irlandia Utara

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Dua dekade setelah penandatanganan Perjanjian Damai Helsinki pada 15 Agustus 2005, Aceh masih menjadi laboratorium penting bagi studi perdamaian dunia. 

Hal ini mengemuka dalam diskusi yang digelar oleh Aceh Diaspora di Hotel Ambhara, Jakarta, Rabu (20/8/2025).

Dalam forum tersebut, Prof Ahmad Humam Hamid menegaskan bahwa posisi Aceh kini berada “di antara”; tidak jatuh dalam kegagalan negara seperti Afghanistan, namun juga belum mencapai kualitas rekonsiliasi dan kesejahteraan seperti Irlandia Utara pasca-Perjanjian Jumat Agung.

“Senjata memang berhenti, tapi tantangan baru segera lahir. Aceh tidak lagi berdarah seperti dua dekade lalu, namun rasa damai itu masih rapuh ketika rakyat belum merasakan sepenuhnya kesejahteraan,” ujar Prof Humam. 

Baca juga: 20 Tahun Perdamaian Aceh, Humam Hamid: Perjanjian Helsinki Akhiri Perang, Damai Aceh Belum Menang

Ia menambahkan bahwa pengalaman Aceh dapat dibandingkan dengan Sierra Leone yang berjuang membangun institusi setelah perang, atau Rwanda yang mampu bangkit dari genosida melalui tata kelola yang keras.

Dalam paparannya, Prof Humam menggarisbawahi sepuluh pelajaran penting dari perjalanan damai Aceh. 

Pertama, negosiasi membutuhkan mediator yang kredibel. Tanpa Martti Ahtisaari dan Crisis Management Initiative (CMI), sulit membayangkan Helsinki bisa lahir. Kredibilitas pihak ketiga menjadi syarat mutlak keberhasilan. 

Kedua, kelelahan perang adalah momentum terbaik. Pemerintah Indonesia dan GAM mencapai titik jenuh, sama-sama tak mampu menang total. Damai menjadi satu-satunya jalan keluar.

Ketiga, kesepakatan politik lebih kuat daripada kemenangan militer. Memberi ruang politik kepada Aceh melalui partai lokal, otonomi khusus, dan bagi hasil sumber daya terbukti lebih efektif daripada sekadar menundukkan dengan senjata. 

Keempat, perdamaian bukan akhir, melainkan awal tantangan baru. Dua dekade terakhir memperlihatkan munculnya problem baru: korupsi, kesenjangan, stagnasi ekonomi, dan merosotnya kualitas pendidikan.

Kelima, integrasi eks-kombatan memerlukan strategi jangka panjang. Program reintegrasi awal memang memberi dana dan lahan, tetapi tanpa perencanaan ekonomi berkelanjutan banyak yang terserap dalam patronase politik. 

Keenam, penyelesaian pelanggaran HAM tetap menjadi lubang besar. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh tak berjalan optimal, dan korban masih menunggu pengakuan serta reparasi.

Ketujuh, lokalitas harus diberi ruang. Partai lokal di Aceh menjadi bukti bahwa demokrasi Indonesia cukup fleksibel menyediakan pengecualian demi menjaga stabilitas. 

Kedelapan, peace dividend harus nyata. Bagi rakyat biasa, damai hanya bermakna bila ada perbaikan hidup. Dana Otsus triliunan rupiah gagal menghadirkan itu secara konsisten karena lemahnya tata kelola.

Kesembilan, narasi damai perlu terus dipelihara. Generasi muda Aceh semakin jauh dari kisah Helsinki, lebih akrab dengan kegagalan elite ketimbang nilai perdamaian. Karena itu, pendidikan, budaya, dan ingatan kolektif harus dijaga. 

Kesepuluh, Aceh menjadi laboratorium global. Dunia melihat Aceh sebagai contoh sukses negosiasi, berbeda dari Sri Lanka yang memilih solusi militer. Namun “sukses” ini relatif: berhasil menghentikan perang, tetapi belum menyempurnakan keadilan sosial.

Diskusi tersebut juga menghadirkan sejumlah tokoh penting, yakni Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, akademisi dan mantan Menteri Republik Indonesia Prof Dr Sofyan Djalil, negosiator perdamaian Aceh, Juha Christensen.

Kemudian tokoh masyarakat Aceh Abdul Latif, diplomat senior dan analis politik internasional Dr Rizal Sukma, serta cendekiawan dan pengamat politik Dr Fachry Ali.

Menutup paparannya, Prof Humam menegaskan bahwa damai tidak boleh berhenti pada simbol.

“Perdamaian harus dirawat, bukan sekadar dirayakan. Tanpa keadilan dan tata kelola yang baik, damai hanya akan menjadi jeda, bukan jalan masa depan,” pungkasnya.

“Tidak Afghanistan, Belum Irlandia Utara”

Afghanistan dikenal sebagai contoh klasik negara gagal. 

Perang yang tak pernah berakhir, mulai dari invasi Uni Soviet, perang saudara, hingga kehadiran Taliban.

Hal ini membuat negara itu tidak mampu memberi rasa aman bagi rakyatnya. 

Pemerintah pusat lemah, banyak wilayah dikuasai kelompok bersenjata, sementara ekonomi hancur dan masyarakat hidup dalam kemiskinan. 

Perempuan dan minoritas mengalami diskriminasi berat, dan jutaan orang memilih menjadi pengungsi.

Bagi dunia, Afghanistan adalah simbol kehancuran negara modern.

Aceh berbeda. Setelah Perjanjian Helsinki 2005, senjata memang berhenti berbicara. 

Tidak ada lagi perang terbuka antara GAM dan Pemerintah Indonesia. 

Pemerintahan berjalan normal, otonomi khusus memberi ruang politik bagi rakyat Aceh melalui partai lokal, dan rakyat bisa hidup lebih aman. 

Aceh tidak menjadi “negara gagal” seperti Afghanistan.

Namun, di sisi lain, Aceh juga belum mencapai keberhasilan penuh seperti Irlandia Utara pasca-Perjanjian Jumat Agung. 

Jika Irlandia Utara berhasil memperkuat ekonomi, memperbaiki kualitas hidup rakyat, dan membangun rekonsiliasi sosial, Aceh masih tertinggal di titik ini. 

(Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Baca dan Ikuti Berita Serambinews.com di GOOGLE NEWS 

Bergabunglah Bersama Kami di Saluran WhatsApp SERAMBINEWS.COM 

Berita Terkini